Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Surat untuk Pacarku

  :My beloved Firsa  Terkadang lenganmu selalu menjulur diujung jendela itu. terbuka diantara rimbun dahan gerimis yang mengiris. dingin meniba di lenganmu yang tirus, dengan kaca-kacanya yang terkadang lebih beku dari dingin yang mengerlip di saku lenganmu.  Aku tahu, terkadang waktu memang memisahkan –sengaja memisahkan untuk kita. senja itu telah lama kembali di matamu. aku melihatnya, sekejap setelah senyap harapku yang lindap di kukuh-kukuh hatimu yang kerap terkunci.  Mungkin, kita pernah lupa dengan kenang yang menggenang di airmata wajahmu. ada dingin menjumpai semata tubuhku, yang beku dihujani mimpi-mimpi itu.  Saat tiba senja, aku hanya ingin di dekatmu, di ujung mataku yang berkaca-kaca untuk sekadar mengenangmu. hanya itu. dengan kedua lenganku yang menyambut tabah tubuhmu. Kita mungkin berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta.                ...

Aku ingin Merantau

    Apa yang kurasakan dengan hidup yang selalu kaku. Tak lebih hanya perjumpaan pagi demi pagi berlalu hampa. Tanpa suara-suara yang datang dengan langkah kepastian. Kita hanya duduk menyelami danau waktu yang mengaliri petak-petak lahan hidup yang semakin sempit. Adakala terjepit dengan persoalan yang harus dihadapi. Menyendiri. Itulah cara terbaik untukku –mengenang—masa itu untuk tidak terulang kembali. Malam selalu datang sekadar menemuiku untuk menyapa. Tak berarti apa-apa di hidupku yang dihiasi abu. Juga ada seberkas sesal yang kurasa. Sepertinya. “ Hari ini adalah peristiwa, ketika lelehan sejarah membatu ”    Begitulah kata Soe Hok Gie. Aku selalu iri dengan kisah-kisah pengembaraan yang penuh lika-liku dan tantangan. Tidak hanya itu ia –mereka—juga banyak memberikan pelajaran berharga tentang kehidupan. Bagaimana kita menciptakan dan membuat mimpi yang begitu sulit untuk kita terjemahkan sendiri? Ia menjawab dengan harapan yang terkadang kita tid...

Kita yang Selalu Menemukan Kata-Kata itu Kembali

   Angin selalu saja datang mengitari musim yang melingkar di tanganku. Mungkin hampa, seperti tanpa suara. Telah lama kita mengucap sebuah petuah dari pintu ke pintu yang rapat. Ada bayangan tubuhmu yang menuggu ditiap akhir waktu itu. Beku. Dan aku tak pernah tahu, sejak kapan beku itu terus saja membayang dan diciptakan pada kata-kata yang selalu berbicara. Aku berkisah tentang rindu yang menerpa dari kerlip jendela yang menggigirkan semu. Lebih tak kutahu lagi, apa yang mencipta bayang-bayang itu yang membuat kita bertemu ditiap kata yang mempertemukan kita disini.    Kita hampir saja mati, lebih keras dan sakit. Saat kata yang kita tinggalkan membenam didasar kalbu yang selalu karam, sunyi memecah gelombang saat sirna beberapa purnama. Menghunuskan kebencian yang kerap terkunci, membenci dan menyakiti. Aku telah lama tenggelam menisbatkan namamu, untuk kutatap dari langit biru yang tercipta dari lembaran hari ku yang terkadang abu. Hari memang tak selalu b...

Kita Bertemu di Awal Perjumpaan Sajak

      Mengenangmu adalah serupa kumpulan butir rindu yang menggenang di tiap jeda pagi yang membening. Seperti mata air yang selalu mempersaksikan antara aku dan dirimu di awal perjumpaan yang selalu akan kita kenang. Di perjumpaan, kita seperti kembali menyelami benua baru yang biru –seperti abu yang dulu kita ciptakan dari perahu-perahu kertas yang terkadang karam saat kau mengusik –sedikit menyentuhnya—saat kita terlelap dalam perahu-perahu, yang dibelikan ayah semasa kecil dulu. Kita selalu termenung –menunggu senja—itu datang. Sedang aku tengah menciptakan kolam kecil untuk sama-sama kita layarkan perahu. Kau selalu tersenyum, terkadang tertawa saat perahuku lebih dulu karam di dasar kolam. Yang didalamnya telah tersimpan ratusan bahkan lebih perahu-perahu yang kita ciptakan dulu, jauh sekali sebelum datang seperti senja yang mempersaksikan kita kini.     Kita telah lama jauh, meninggalkan ribuan abad yang telah lama berlalu seperti kata-kata itu...

Perahu Kehidupan

           : para pemeluk mimpi mungkin kita masih bertemu di awal perjumpaan yang teramat sulit untuk dilupakan. merenungi fajar yang terbit dengan beberapa doa yang kita semaikan pada sebuah pagi. ada saat-saat yang larut. dan kita hanyut dalam perjamuan mimpi. malam itu kita masih menakwilkan beberapa lembar ilmu, yang kita petik dari buku-buku. masa ini telah mengantarkan perahu-perahu menuju muara yang kita tulis dari beberapa lembar aksara untuk kita goreskan perlahan pada lembaran baru dan mengantarkan perahu-perahu ( meski jeda merenda perlahan, dari tiap langkah yang menyemaikan kedamaian) perlahan perahu berlalu pergi menuju lautan. yang kita namakan kehidupan.

Mungkin Inikah yang Kita Namakan Cinta

Mungkin inikah sebuah jejak yang kita namakan cinta? Terkadang cinta hanyalah kemunafikan yang harus ditup-tutupi oleh keindahan semu. Hanya bayangan. Tak lebih fragmentasi hidup yang terpecah dari  ingar bingar kehidupan yang hampa suara. Desau seperti gebalau yang kacau. Memupuri lekat mata mata kita yang haus akan waktu. Serenade usang semakin ditinggalkan nafas zaman yang semakin pahit, sepahit waktu yang tak akan pernah kembali memutarkan melodrama yang porak-poranda. Hari ini aku bersamanya. Memandangi hidup yang terkadang beku, lebih kerap buntu.Apakah hakikat cinta lebih tinggi dari segalanya? Lebih dari beribu upaya yang harus kita korbankan demi perjamuan semu yang hampa dan tak akan pernah kembali. Semua hanya bayangan. Sirna. Disaat perlahan mata angin malam mulai menutup pintunya rapat-rapat. Dan tak akan pernah bisa, untuk kita bukakan. Malam ini aku tak bisa melukis wajah langit, setelah sembab hujan yang mengatarkannya pergi. Bermuara pada malam yang mulai s...

Isyarat Kata dalam Abu Kematian

  /I/ INILAH jalan yang mungkin menyimpan ribuan jejak dari beberapa depa kita melangkahkan arah demi sebuah petuah yang datang seperti para peziarah untuk menjemput nyawaku yang agung. kau membawa bangkai abu yang mengemasi kepedihan, untuk kita saksikan dimalam  yang mempertemukan ruap derap yang paling senyap. aku menjelma harapan yang terkadang lebih buntu ditiap-tiap lengkung telikung. /II/ DI bangkai abu ada ratusan sajak yang meneriakkan kepedihan dari bilur-bilur kepingan luka. aku berlari mencakar cekak leher yang dari tadi mencekikku. kaku. dan mulai menepikan beberapa kata untuk melepaskan beberapa doa yang membelit jeruji nadi yang kerap terkunci. teriakan yang melepasi dinding abu jenazah, yang perlahan pergi menuju lautan. /III/ SEBENTAR lagi kita akan menyaksikan parade kematian. berbaris dengan wajah sakral. dengan taburan abu membungkus kafan hitam. ada tangan-tangan hanyut putus. melambaikan isyarat kepergian. meninggalkan kata-kata itu pergi,...

Aku Melihatmu Disini, Ditepi Keabadian

Ceritamu terlalu pahit untuk kita kenang bersama sebuah angan yang tak akan pernah kumengerti. Baru saja, aku meliahatmu bersamanya. Mungkin kita sama-sama terlahir sebagai manusia yang tak saling mengerti dan memahami. Dari sini, dibalik jendela yang menjadi saksi kepergianmu. Mungkin? Itu adalah sahabat yang dekat. Sedekat senyum yang selalu ada disaat pagi yang hening. Bening. Seperti mata air hujan yang jatuh saat November menangisi kepedihannya. Ingatkah? Tentang cerita semalam? Saat aku mencoba mendekapmu? Tapi tak ada. Dan tiada pernah untuk bisa. Karena aku. Menyayangimu. Dengan sederhana, sesederhana malam yang hadir bersama purnama-purnama. Kehidupan adalah ribuan kebencian yang harus kita kremasi sendiri, dengan abjad-abjad yang kita eja dengan tertatih. Seperih mati yang hampir memugar malam beku yang perlahan menikamku. Aku temukan kekosongan, saat tepat jarum jam menghilangkan ingatannya. Ada kebencian yang menutupi tiap lembaran tidur. Tak bisa lelap. Tak bisa me...

Matahari yang Terbit Dari Matamu

aku sudah membenamkan tubuh pada setiap senja yang kita gelar dari kepedihan. lukamu adalah lukaku yang membening diantara butiran hujan. kita pernah bertemu ditepi musim saat perlahan belantara yang kita temukan terlihat nisbi, sama seperti bayanganmu yang kerap muncul disaat aku merindukanmu dari sini. aku melihat matahari tidak terbit dari timur. tapi terbit dari matamu. sebab, aku telah memutarkan mataangin pagi untuk terbit saat tepat luka membangunkan tidur lelapnya. inikah cahaya yang lahir dari bening tatapanmu itu? ataukah fajar yang masih akan kita titipkan kepada pagi yang menyapa hari. matamu adalah ribuan kerinduan, yang sengaja diciptakan agar aku bisa mengenangmu. itu saja. mungkin kau sedang terlelap saat aku menuliskan lembaran sajak, dari mimpi yang mencipta bayang-bayang. kau ada disisiku, selama senja itu ada. yang tak pernah tiada dalam perjumpaan kita. senja itu. Selasa,  22/11/2011 16:41 PM  

Hujan, Kita Begitu Dekat

                                                : Firsa Lubis siapalagikah yang dapat merapalkan musim? setelah beberapa semu kita petik ranum cuaca dari balik kata-kata. atau kita akan menukarkan hujan dengan hangat tubuh kita dan butiran hujan yang tepat jatuh diantara rimbun dedaun. kita begitu dekat.  seperti tapak hujan yang perlahan menyeka senyummu.  dari sinilah aku  merindukan saat jarak yang kita bentangkan  perlahan mendekat,  sedekat aku dengan hujan. November 2011

Malam Itu Aku Menulis Sajak untuk Ayah

       : my beloved dad Kepada Ayah, yang mengajari kami untuk tetap tegar, dan memaknai hidup dengan kesederhanaan. /1/ Aku tahu Yah, ketika pahit kehidupan menyeret kita jauh, jauh sekali menyayat kalbu. seperti belenggu adalah godam, yang tak henti menggempar amarah di ujung nadiku yang resah. /2/ Yah, kutulis sajak ini, ketika lelehan airmata jatuh dipelupuk mataku. dalam hati yang teriris, sakit. aku tak sanggup mendengar jeritmu, jerit yang mencekik, dari kejamnya kehidupan. seperti amarah tanpa jeda yang tak juga reda. /3/ Ayah, sudah kudengar keluhmu, dilelah tidur malammu yang resah. kau terlelap bersama airmata perih , yang kau tahan ditiap pejam mataangin malam. /4/ Yah, aku masih ingat, dimalam itu kala kita bersama. aku membawa figura, dan kau mengajariku tentang perjuangan itu. /5/ Ayah, yang selalu hadir ditiap perpisahan sekolahku. adalah senyum itu, yang hadir kala getirku ya...

Lentera Terakhir untuk Sahabat

Sepercik air yang kunantikan Tapi hanya butir pasir yang kudapatkan, Dimana senyum yang memanjakan Teringat saat kita bersama Lalui badai nan kelam kita tetap berjalan Dimanakah engkau kini teman Menghilang ditelan malam Tak kunjung datang Dimanakah kau berada Dimanakah ku berada kini? Kurindukan arti dirimu kawan, Saling berbagi Indahnya mimpi kita. Kurindukan arti dirimu kawan, Lalui bersama, Menembus dingin malam. ­­­—Arti Kawan, Pas Band /I/ Prolog Sebuah dimensi pengantar yang kuibaratkan lewat lentera,  adalah lilin-lilin kecil penerang kegelapan, yang dengan tulus menerangi kehidupan ini dengan kebaikan. Lilin yang tidak pernah angkuh ditengah gemerlap kehidupan, yang dengan tegar dari masa-ke masa, menantang badai yang dengan keras menantang hari-harimu, adalah lentera yang tidak pernah berubah memancarkan warna keindahan. Kuantarkan kau, lewat cahaya kesederhanaan yang terpancar  dari  lentera yang kau bawa ...

Surat Kecil untuk Zhang Da

/I/ kita telah lama menyemai syukur pada sebuah pagi. saat desau anak-anak pelangi merantaui dinding langit beku, menyisakan larik lanun yang terhempas dari tangan matahari. /II/ fajar adalah serupa nirwana yang hadir dari tiap lelembar pagi, ia mencipta ribuan cita dari balik geribik tua –tempat kita menanam rindu, dari bebutir padi yang tercipta saat jerit menjarit purnama yang perlahan tenggelam. /III/ Zhang Da, beribu kami hidup dari tangan mungilmu, seperti isyarat yang kueja dari tatapan matamu: pilu . Saat sungai mengalirkan remah sejarah, ada tangan malaikat yang memeluk rapat tubuhmu.disaat senja yang jingga mengantarkan kepergian ibu. tangis yang teramat alit untuk mengecap duka. /IV/ Zhang Da, nanar matamu menujahkan ngilu yang tiada henti. mengaliri sungai kepedihan yang kau airi sendiri dari peluh seluruh. sementara langit seperti tak henti membumikan kepedihan. saat ayah tinggallah pelitamu, menggenang dukamu saat langit memecahkan ringkih ke...

Saat Purnama Menguburi Jasad Kami

  :Karawang-Bekasi matahari terbit dari balik purnama yang tak kumengerti. baru saja, setelah letih senja berdarah. adalah nafas yang menghunjamkan tubuhnya pada tirai-tirai hujan yang kubuka dari tatapan nisan. airmata telah pupus, pada jejantung tanah yang dulu aku rebah. disini: tempat dulu aku meniupkan sangkakala saat genderang mulai menabuhkan tambur kegaiban. saat ribuan bayonet memecah tabu tulang-tulangku, rintihan peluru mendesing tanpa alamat. melesat-lesatkan pada langit yang terkaing, lindap dijantung kami : lalu mati . kami tidak pernah tahu, sejak kapan lahir sebagai pejuang-pejuang yang rela mati untuk tanah air kami, ataupun duka nestapa yang harus kami korbankan. tapi apa? seribu tangis kami tak akan memberi banyak arti bagi bumi pertiwi. Saat kelu darahku, mendesir: mengalir saat purnama mengantarkanku. kudengar tangisan hujan mengenang kepergian kami. di darah ini, kutuangkan beribu duka di darah ini, kualirkan airmata doa. di dar...

Pesan Kedamaian untuk Sahabat

Tanggal 25 Juni 2010 mungkin adalah tanggal bersejarah yang tidak akan pernah untuk dilupakan.   Matrikulasi Berawal dari perjumpaan pemberian matrikulasi, Ya. Mungkin sesuatu yang berbeda dari  sekolah lain. Pagi itu aku duduk-duduk didepan meja panjang sebuah kelas didepan tiang bendera. Duduk memandang dengan cemas, betapa tidak. Hari ini adalah hari pertamaku untuk memulai menginjak masa-masa sekolah di Madrasah Aliyah Negeri 2 Kota Bogor. Seberkas senyum dipagi itu, pagi yang hening. Kulihat deretan pelajar SMP dan MTs melakukan hal yang sama sepertiku. Lama ku duduk sejenak, kulihat satu per satu, disebelahku seorang lelaki sedang membaca mushaf dengan lirih, lalu dengan sigap ia segera bergegas meninggalkan bangku panjang itu sambil membawa novelnya ketika bel berbunyi. Aku tersentak kaget, ternyata seisi kelas sudah penuh, Waktu itu di ruang Multimedia 2, lalu kulihat ternyata yang sudah didalam ruangan semuanya adalah akhwat! Aku semakin bingung. Di r...

Jejak Cahaya Malam Nuzulul Qur'an

                            kepada : malam Nuzulul Qur’an di riak jingga airmata jiwamu, berurai namamu memanjang seperti gemericik hujan yang jatuh kedalam rongga tabah tubuhku yang rubuh. lalu, menghampiri   jemari. memantik di dingin sunyi yang memapah deru paru. adalah cahaya sunyi di dingin itu, ketika   kakilangit menjejak langkah di dekap sujudku yang rapat. memahat lekat ayat-ayat suci, terpatri erat mengakar. lindap didegup jantung, darahku kaku. kelu. sudah kutahu cerita tentangMu. malam begitu beku, meniris   gerimis. jatuh diatap-atap bumi yang meratap. senyap. jauh sebelum itu, bumi seperti rerengkuh angkuh, senjakala tiada. lembayung terpasung dikais dera tiada tara. angin mati, mendesahkan resah di malam itu. dikedamaian suatu ketika, malaikat turun kebumi, memapar kabar. lauh mahfudz menyala memendar bias cahaya, direlung katup malam. bias cahaya ...

Aku Ingin Menghadap Tuhan Sejenak

                 : kepada Para Penadah Hujan  hujan kemudian jatuh, menjamah begitu tabah pada tubuhku ia menjelma angin yang menerbangkan ngilu pada belikat tulang-tulangku. tiba-tiba: dingin menyergap, pada keheningan yang kini hinggap. perlahan hujan memapahku, kaku. ketika tangan mimpi mendekap doa-doa. seperti mata air yang keluar dari airmata pilu. letih begitu lirih, dalam angkara perih. seperti waktu yang tak pernah berhenti bertanya tentangku. aku hanyalah penadah hujan. dari pinggiran kehidupan. Tuhan, kuhadapkan wajahku. kepada langit, kepada hujan, kepada matahari. tapi tak jua kutemukan Engkau. aku ingin menghadap Mu sejenak disini, hujan turun menadahkan perih. dalam dingin yang mendekap beku malam itu, berselimut duka, yang tak juga tiada. Bogor 11092011

Airmata Do'a untuk Tuhan

                      :Adaptasi terjemah Q.S Al-Ikhlas /I/ Padamu Tuhan: dalam rebahan jejarak yang memendar bias ketika angin mati memahatkan desah pada jejantung tanah yang resah di tikar tafakur Engkaulah: Tuhan kami dengan segala keesaanMu /II/ Adalah Engkau: dalam sebait doa di pijar fajar memanjatkan segala  pinta serta puja hingga jingga senja tiba tapi, seketika sukma meringis. teriris.   “Ah…  akulah peminta-minta pada tuhan-tuhan bernama harta    menghamba pada tuhan-tuhan bersolek jabatan    yang dengan congkak menyembah pada tuhan-tuhan kekuasaan" ketika nista telah menghujam ubun-ubun akar-akar kehidupan terkapardalam kafir panggilan suci ditelan zaman yang kikir nafas kehidupan tersendat-sendat. /III/ Padahal Engkau: Yang dengan segala Tiada dalam peranakkkan dan bukan pula diperanakkan. diharibaan suci dan altar-alt...

Orizuru Pada Daun yang Gugur

/I/ ingin sekali sejenak  aku larut di wajahmu.  memandangmu lekat sampai senja yang kan tiba menunggu. ajaklah aku menggapai erat tanganmu, dibatas senyummu yang berkata tentangku, juga tentangmu. seperti cerita malam itu, yang hangat memeluk mimpi-mimpi kita. usai, disikap purnama, menyisakan kisah yang berlembar  dibuku harianku. aku mengisahkan tentangmu. /II/ pada daun yang gugur,  jatuh menjumpai. adalah hijau, oranye,dan sebagian cokelat warnanya, menyibakkan kebahagiaan. aku ingin sekali berkata: lalu, angin itu terbang mengantarkanmu mengetuk pintu bibirmu yang rapat. /III/ pagi ini, aku ingin menjumpai angin dan juga daun-daun gugur. yang berserak sesak diatas tetumpuk tanah-tanah yang basah. embun  sudah mengukir pagi, setelah datang matahari menjemput perbincangan kita pagi itu. disini, ditempat ini: perlahan daun-daun jatuh berguguran. melambaikan cerita tentangmu. disampingmu, aku mendekap tawa bahagiamu, memotr...

Aku Mencarimu dalam Dimensi Hujan

Syahrizal Sidik I Suatu ketika Dalam dimensi hujan Aku masih terhuyung dalam alunan kabut sepi itu. Mengantarkanku pada altar malam, Dan membukanya dengan sepucuk risau, Serta kerinduan yang kusimpan dibalik tanya II Ah, Seketika deras hujan Menyeretku jauh menepi Yang terputus oleh detak waktu Meniris. Teriris. Jiwaku. Pada dingin yang masih terasa, Semasih senja. III Dalam lorong dimensi hujan Jatuh dalam linangan airmata hati. Tak lagi dapat ku menemukanmu Disela getir yang menggigil Dalam aroma tubuhmu yang tak lagi ada Aku mencarimu, Terus dan terus,sampai kebuntuan mengakhiri Dalam langkah sepi ini IV Dititik kerinduanku yang terpendam Pada seucap tanya yang tak mampu lagi kujawab Ketika doa suci mengantarkanmu Menuju keabadianNya. V Dalam tertatih, Aku menangis Sembari ku kais-kais sisa taburan bunga Melati, dan kamboja. Yang berserak di lantai itu. Sepi. Aku sendiri Dengan tangis yang tak m...