:Karawang-Bekasi
matahari terbit dari balik
purnama yang tak kumengerti. baru saja, setelah letih senja berdarah. adalah
nafas yang menghunjamkan tubuhnya pada tirai-tirai hujan yang kubuka dari
tatapan nisan.
airmata telah pupus, pada jejantung tanah yang dulu aku rebah.
disini: tempat dulu aku meniupkan
sangkakala saat genderang mulai menabuhkan tambur kegaiban. saat ribuan bayonet
memecah tabu tulang-tulangku, rintihan peluru mendesing tanpa alamat.
melesat-lesatkan pada langit yang terkaing, lindap dijantung kami: lalu mati.
kami tidak pernah tahu, sejak kapan lahir sebagai pejuang-pejuang yang
rela mati untuk tanah air kami, ataupun duka nestapa yang harus kami korbankan.
tapi apa? seribu tangis kami tak akan memberi banyak arti bagi bumi pertiwi.
Saat kelu darahku, mendesir:
mengalir saat purnama mengantarkanku. kudengar tangisan hujan mengenang
kepergian kami.
di darah ini, kutuangkan beribu
duka
di darah ini, kualirkan airmata
doa.
di darah ini, kuserahkan:
hidup
mati
tanah
air
kami
dengan beribu cadik yang
mengantar kepergian kami, dengan sampan
yang harus kami dayung sendiri bersama rintihan purnama. mengalir di di sungai-sungai darah, yang perlahan
pergi:
menuju keabadian.
Oktober 2011
Komentar
Posting Komentar