Ceritamu terlalu pahit untuk kita kenang bersama sebuah
angan yang tak akan pernah kumengerti. Baru saja, aku meliahatmu bersamanya.
Mungkin kita sama-sama terlahir sebagai manusia yang tak saling mengerti dan
memahami. Dari sini, dibalik jendela yang menjadi saksi kepergianmu. Mungkin?
Itu adalah sahabat yang dekat. Sedekat senyum yang selalu ada disaat pagi yang
hening. Bening. Seperti mata air hujan yang jatuh saat November menangisi
kepedihannya. Ingatkah? Tentang cerita semalam? Saat aku mencoba mendekapmu?
Tapi tak ada. Dan tiada pernah untuk bisa. Karena aku. Menyayangimu. Dengan
sederhana, sesederhana malam yang hadir bersama purnama-purnama.
Kehidupan adalah ribuan kebencian yang harus kita kremasi
sendiri, dengan abjad-abjad yang kita eja dengan tertatih. Seperih mati yang
hampir memugar malam beku yang perlahan menikamku. Aku temukan kekosongan, saat
tepat jarum jam menghilangkan ingatannya. Ada kebencian yang menutupi tiap
lembaran tidur. Tak bisa lelap. Tak bisa mengerjap. Aku terkesiap seketika saat
lampu kamar membungkam sorotan tajam, menepis tipis pelipis yang mengerdip saat
malam itu datang.
Hujan tak selalu membawa kepedihan, meski airmatanya
menyusut saat hening menepikan tubuhnya pada teras-teras rumah, dinding-dinding
kamarku yang sengaja dibiarkan terbuka, mengayun sayup angin seperti cerita
lalu. Saat aku terbenam dari sebuah mimpi. Yang akan pernah kembali. Lagi.
15 NOVEMBER 2011, SELASA 16:49 PM
Komentar
Posting Komentar