Mungkin inikah sebuah jejak yang kita namakan cinta?
Terkadang cinta hanyalah kemunafikan yang harus ditup-tutupi oleh keindahan
semu. Hanya bayangan. Tak lebih fragmentasi hidup yang terpecah dari ingar bingar kehidupan yang hampa suara.
Desau seperti gebalau yang kacau. Memupuri lekat mata mata kita yang haus akan
waktu. Serenade usang semakin ditinggalkan nafas zaman yang semakin pahit,
sepahit waktu yang tak akan pernah kembali memutarkan melodrama yang
porak-poranda.
Hari ini aku bersamanya. Memandangi hidup yang terkadang
beku, lebih kerap buntu.Apakah hakikat cinta lebih tinggi dari segalanya? Lebih
dari beribu upaya yang harus kita korbankan demi perjamuan semu yang hampa dan
tak akan pernah kembali. Semua hanya bayangan. Sirna. Disaat perlahan mata
angin malam mulai menutup pintunya rapat-rapat. Dan tak akan pernah bisa, untuk
kita bukakan.
Malam ini aku tak bisa melukis wajah langit, setelah sembab
hujan yang mengatarkannya pergi. Bermuara pada malam yang mulai sunyi. Seperti
buih kesendirian yng kita ciptakan sendiri dari kata-kata yang hanya mampu kita
eja, dari gelimpangan lampu-lampu kota yang terus saja bersaksi.
Kita telah lama
menunggu hujan yang tak juga reda, dengan perbincangan hangat mengantarkan pada
puncak kebahagiaan yang kita namakan cinta. Oh? Mungkin? Aku tak tahu sejak
kapan cinta diciptakan, dan bagaimana merasakan cinta yang sebenarnya. Yang ada
di benakku hanyalah bongkahan mosaic putus-putus memagari dinding kalbu yang
masih beku. Lebih tak tahu.
Begitu banyak orang berani mengatakan, mengungkapkan, dan
memaknai cinta dengan hal-hal ritual yang merek bilang romantisme –walau hanya parsial—yang
terkadang kita risih melihat di pinggiran jalan, pusat perbelanjaan, bioskop,
kampus, bahkan sekolah-sekolah yang mendidik pun tak kalah melahirkan
pasangan-pasangan baru yang teramat semu untuk mengatasnamakan cinta.
Kita memang tidak bisa memutarkan waktu untuk kembali pada
masa lalu. Jika saja bisa, aku akan menyelami abad-abad silam, melihat Romeo-Juliet.
Sayangnya hidup adalah kepingan mosaik. Yang harus kita susun sendiri, dibatas
waktu yang tak akan pernah berhenti menanyakan seribu harapan yang terkadang
kita tidak tahu. Dan tidak bisa untuk mengerti, seperih malam yang mengisahkan
pedih pada tiap lembaran hujan.
Komentar
Posting Komentar