Mengenangmu adalah serupa kumpulan
butir rindu yang menggenang di tiap jeda pagi yang membening. Seperti mata air
yang selalu mempersaksikan antara aku dan dirimu di awal perjumpaan yang selalu
akan kita kenang. Di perjumpaan, kita seperti kembali menyelami benua baru yang
biru –seperti abu yang dulu kita ciptakan dari perahu-perahu kertas yang
terkadang karam saat kau mengusik –sedikit menyentuhnya—saat kita terlelap
dalam perahu-perahu, yang dibelikan ayah semasa kecil dulu. Kita selalu
termenung –menunggu senja—itu datang. Sedang aku tengah menciptakan kolam kecil
untuk sama-sama kita layarkan perahu. Kau selalu tersenyum, terkadang tertawa
saat perahuku lebih dulu karam di dasar kolam. Yang didalamnya telah tersimpan
ratusan bahkan lebih perahu-perahu yang kita ciptakan dulu, jauh sekali sebelum
datang seperti senja yang mempersaksikan kita kini.
Kita
telah lama jauh, meninggalkan ribuan abad yang telah lama berlalu seperti
kata-kata itu. Aku selalu termenung saat-saat mengenang senyummu, seperti jejak
yang memang sengaja diciptakan untukku. Ah inikah musim? Yang terkadang lebih
tabah dari hujan bulan juni. Selalu menegang, selalu meregang. Aku tengah
menanti –menuggunya— untuk datang kembali. Disini. Ditempat ini.
Aku
merindukamu disini, terkadang snja selalu datang tak tepat. Terkadang mengumpat
dari tepian yang paling jingga. Hingga sama sekali aku tak pernah sempat
bertemu dengannya. Denganmu, senja selalu datang tepat lengkap dengan lanskap
paling indah, ingin aku mengenangnya kembali. Dengan mencipta sebaris sajak
untuk aku bisikkan disampingmu, menunggu matahari terbenam dengan mengecup
keningmu, dengan rasa dan penuh cinta.
Terlalu
jauh. Aku melihat kapal-kapal terdampar
di tepian pulau yang memberi banyak arti, namun ragu. Kita selalu
memintal harapan pada jejak yang nampak kekal. Matamu hinggap pada senyap
sayap. Berlabuh menepikan kapal-kapalnya pada pesisir, dengan sejuta pasir
putih. Seperti hujan yang memang selalu terhuyung mengantar rapat tubuhmu. Ditepi
jalan itu.
Komentar
Posting Komentar