Angin selalu saja datang mengitari musim yang melingkar di
tanganku. Mungkin hampa, seperti tanpa suara. Telah lama kita mengucap sebuah
petuah dari pintu ke pintu yang rapat. Ada bayangan tubuhmu yang menuggu ditiap
akhir waktu itu. Beku. Dan aku tak pernah tahu, sejak kapan beku itu terus saja
membayang dan diciptakan pada kata-kata yang selalu berbicara. Aku berkisah
tentang rindu yang menerpa dari kerlip jendela yang menggigirkan semu. Lebih
tak kutahu lagi, apa yang mencipta bayang-bayang itu yang membuat kita bertemu
ditiap kata yang mempertemukan kita disini.
Kita hampir saja mati, lebih keras dan sakit. Saat kata yang
kita tinggalkan membenam didasar kalbu yang selalu karam, sunyi memecah gelombang
saat sirna beberapa purnama. Menghunuskan kebencian yang kerap terkunci,
membenci dan menyakiti. Aku telah lama tenggelam menisbatkan namamu, untuk
kutatap dari langit biru yang tercipta dari lembaran hari ku yang terkadang
abu. Hari memang tak selalu biru, ada haru yang sesekali ragu menutupkan
dirinya pada waktu ke waktu.
Saat aku tenggelam, siapakah yang mampu mendekap tanganku?
Atau sekadar memanggil namaku yang mungkin jauh di dasar yang lebih nanar dari
matamu. Mungkin kau akan berteriak ditepian cadas-cadas yang selalu beringas
yang hampir membunuhku. Curam. Seperti itukah kau yang mungkin selalu ragu
menemukan kata-kata itu kembali.
12/6/2011
Komentar
Posting Komentar