Apa yang kurasakan dengan hidup yang selalu kaku. Tak lebih
hanya perjumpaan pagi demi pagi berlalu hampa. Tanpa suara-suara yang datang
dengan langkah kepastian. Kita hanya duduk menyelami danau waktu yang mengaliri
petak-petak lahan hidup yang semakin sempit. Adakala terjepit dengan persoalan
yang harus dihadapi. Menyendiri. Itulah cara terbaik untukku –mengenang—masa
itu untuk tidak terulang kembali. Malam selalu datang sekadar menemuiku untuk
menyapa. Tak berarti apa-apa di hidupku yang dihiasi abu. Juga ada seberkas
sesal yang kurasa. Sepertinya.
“Hari ini adalah
peristiwa, ketika lelehan sejarah membatu”
Begitulah kata Soe Hok Gie. Aku selalu iri dengan
kisah-kisah pengembaraan yang penuh lika-liku dan tantangan. Tidak hanya itu ia
–mereka—juga banyak memberikan pelajaran berharga tentang kehidupan. Bagaimana
kita menciptakan dan membuat mimpi yang begitu sulit untuk kita terjemahkan
sendiri? Ia menjawab dengan harapan yang terkadang kita tidak mengerti.
Begitulah, para perantau, petualang sejati. Menghayati hidup dari layar
ianjinasi mereka, jauh dari saudara, jauh dari kerabat, jauh dari tetangga,
yang ada hanya dinding abu yang menghiasi sudut diatas jendela kamarku.
Aku bahagia saat ada seseorang yag datang untuk sekadar
membukakan pintu di mataku yang selalu terpejam dengan dunia yang terasa asing
bagiku. Namun tak ada, hanya kesendirian, dan kita yang selalu menyusun
hari-hari itu dengan beban begitu berat. Tapi bagiku, disinilah hidup yang
harus kita jalani. Sepenuh cinta, sepenuh harapan.
Pagi ini aku datang mengetuk hatiku yang terkunci. Kubuka ia
dengan tanganku, lalu mengucap beberapa kata rindu. Ah, kenapa sesal yang
mengekal selalu datang sekejap. Kenapa tidak nanti saja. Mungkin aku terlalu
buntu untuk melihat dinding kusam ini –kamarku—yang dipenuhi coretan, kertas,
Koran-koran pagi, juga setumpuk buku.
Yang kubeli dari uang jajanku yang sengaja ku kumpulkan. Aku telah lama
mengenal penjual buku itu, Bang Toro itu namanya.
Mungkin, dikota yang baru –tempat aku merantau—aku akan
menemukan hidup yang baru. Dengan caraku sendiri, kelak aku ingin menjumpai
pagi yang selalu kulewati dengan hanya segelas susu coklat, roti sambil mengisi
waktu pagi itu dengan shalat Dhuha di langgar kecil tempat dulu. Aku hanya
ingin itu kembali, mendendangkan berita di Radio RRI, sambil menuliskan
beberapa sajak dan mendengar suara orang-orang yang tadarus. Aku akan
membayangkan, betapa hidup ini begitu berarti, dan Tuhan tidak pernah
menciptakan waktu untuk kita lewatkan sedetik pun dengan kesia siaan.
Saat siang menjelang, aku disibukkan dengan kegiatan di
sekolah. Bahkan sampai sore, aku banyak mengikuti kegiatan di sekolah. Ia telah
lama menbangun jatidiri, dengan kesederhanaan dan cinta.
Komentar
Posting Komentar