Image from Tumblr
Di antara
riuh itu kita mengeja burung-burung gereja
selepas
senja melepas ke udara
Kita
memetiknya; di gugur daun itu
“Kita tak
harus mengharap suatu apa,” desah cemas itu
“Teruslah
tegak, ke langit bijak,” seraya gugur daun-daun itu.
Di luar,
genap langkahmu gemetar.
Dan terus gemetar.
Kita genap menghitung
cuaca. Sepersekian detik setelah diam itu runtuh di udara. Separuh ragamu ada,
separuh rasamu nyata, di serambi hati yang tak pernah terbagi. Di setiap
selasar yang selalu kita buka dengan penuh debar. Masa itu.
Mengenang hujan.
Lingkaran-lingkaran gerimis di luar sana adalah airmataku yang menghapus
wajahmu. Gugur, kita berpisah di tiap langkah yang membuat kita jadi lengah.
Kita pun jengah, menghitung satu- dua napas kita yang tersisa, dengan
terperangah.
Mengenang gugur.
Daun-daun yang kita sematkan pada bumi adalah gravitasi. Tempat di mana dirimu
akan terpedaya oleh kekekalan pasti. Dia akan jatuh, tepat menjemput tanah.
Kekekalan pasti yang membuat kita selalu terpedaya tanpa daya. Sepersekian
sebelum jatuh itu, aku lengkap menghitung langkahmu yang tertahan.
Mengenang diam.
Berapa lama diam itu akan terus memburu langkahmu. Diam yang membuatmu terus
menunggu kekekalan demi kekekalan semu. Diammu selalu meruntuhkan kata-kataku.
Segala kepastian terukir, segala kemungkinan menjadi takdir. Di baris ragaku
yang masih ada, aku ingin menyatakan diamku padamu. Simpanlah ini. Diam yang
meruntuhkan hatimu.
Kita akan terus
melaju. Di antara keriuhan yang membuat kita lupa, tentang sebaris namamu yang
terus meruntuhkan langit pikiranku. Dia terus bergerak, di rel-rel penuh kesangsian. Di gerbong-gerbong
kereta yang lupa usia. Di peron-peron yang meneriakkan namamu pada keheningan
pagi. Di sepersekian laju langkahmu yang
terus melaju. Dan terus melaju.
Desember, 2012
In between
the hectic that we spell sparrows
after dusk
take off into the air
We pick: in
the autumn leaf
"We
should not expect a right," sighed worried that
"Keep
upright, wise to the sky," while the leaves fall.
Outside,
even shaking step.
And
kept shaking.
We even count the
weather. A split second after it collapsed in the silent air. Half of your
physical body there, half feel real, in the foyer
heart that never divided. In every hall we always open with a full pound.
Period.
Remembering the rain.
Drizzle circles out there are tears that removes face. Fall, we split each step
that makes us so off guard. We were embarrassed, counting one-two breaths we
are left with awe.
Remembering the fall.
The leaves that we pinned on earth is gravity. A place where you will be
deceived by eternity for sure. He will fall, just pick up ground. Immortality
certainly makes us always deceived without power. Fraction before falling, I
retained a full count your steps.
Remembering silent.
How long it will continue to hunt silent step. Silence makes you continue to
wait for eternity to eternity false. Shut up you always undermine my words. Any
certainty engraved, the destiny of all possibilities. In the line of my body is
still there, I would like to express diamku you. Keep it. Undermine the still
heart.
We'll keep going. In
the din that makes us forget about the line name that continues to undermine
the sky my mind. He kept moving, at full rail skepticism. On the train
carriages were forgotten age. On the platforms are shouting your name in the
morning stillness. In a fraction of a step rate that kept going. And kept
going.
December, 2012
Komentar
Posting Komentar