Photograph by Syahrizal Sidik
Dwiyoso,
menampilkan pementasan teater yang diadaptasi dari cerpen Kurma Kiai Karnawi
karya cerpenis Agus Noor, Sabtu (16/12) di Auditorium FKIP Universitas Pakuan Bogor.
Kiai Karnawi, yang dipanggil seorang tetangga, muncul. Beliau
menatap penuh kelembutan pada orang yang tergeletak di kasur itu. Kesunyian
yang mencemaskan membuat udara dalam kamar yang sudah pengap dan berbau amis
terasa semakin berat. Beberapa orang yang tak tahan segera beranjak keluar
dengan menahan mual. Kiai Karnawi mengeluarkan sebutir kurma, dan menyuapkan ke
mulut orang itu. Para saksi mata menceritakan: sesaat setelah kurma tertelan,
tubuh orang itu terguncang hebat, seperti dikejutkan oleh badai listrik. Lalu
cairan hitam kental meleleh dari mulutnya, berbau busuk, penuh belatung dan
lintah. Dari bawah tubuhnya merembes serupa kencing kuning pekat, seolah
bercampur nanah. Seekor ular keluar dari duburnya, dan—astagfirullah—puluhan
paku berkarat menyembul dari pori-pori orang itu. Lalu berjatuhan pula puluhan
mur dan baut, potongan kawat berduri, biji-biji gotri dan silet yang masih
terlihat berkilat. Orang itu mengerang panjang. Kiai Karnawi mengangguk ke arah
yang menyaksikan, ”Biarkan dia istirarahat. Besoknya, dia kembali bugar."
Fakultas Ilmu Keguruan Pendidikan
(FKIP) Universitas Pakuan Bogor menggelar acara pengenalan seni teater untuk
mahasiswa PGSD pada Sabtu-Minggu, (15-16/12). Tiga ratus mahasiswa semester 5
yang mengikuti acara ini, dikenalkan dengan ragam acara seperti penampilan
teater, diskusi teater, penulisan skenario, sampai olah vokal. Selain mengikuti
penampilan, mereka juga harus menampilkan konsep pementasan yang disutradarai
berdasarkan kelompok.
Acara tersebut juga dihadiri oleh
narasumber yang bergelut di dunia teater, seperti Dony P. Herwanto yang
membawakan mengenai teknik penulisan skenario, Jamal Gentayangan yang merupakan
dosen FKIP juga memimpin jalannya diskusi teater. Muhammad Nurdin yang juga penyiar RRI ini membawakan
teknik penulisan skenario di radio, penampilan oleh aktor teater, Mulyana,
Dwiyoso. Dan teknik olah vokal oleh Taufqur Rahman.
Pada pementasan Sabtu malam, Dwiyoso
menampilkan sebuah pertunjukan teater yang mengadaptasi cerpen Kurma Kiai Karnawi karya Agus Noor. Dwi
mencoba menampilkan pertunjukan itu lebih interaktif dengan audiens, “Ini guna
pendekatan terhadap penonton, supaya tidak monoton,” ujar Dwi.
Memutus
mitos
Sudah lazim diketahui, bahwa unsur
magis tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat kita sampai
saat ini, melalui adaptasi cerpen ini, aktor mencoba mengekpresikan melawan
mitos-mitos tersebut. Dwi juga membawakan lakon dengan diselingi humor-humor
politik, peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat secara dekat, dengan
bahasa-bahasa yang mudah dipahami. Kiai Karnawi yang dibawakan oleh Dwi
menceritakan seorang tokoh yang bernama Kiai Karnawi, seorang kiai yang
sederhana yang konon mempunyai kemampuan ajaib dengan buah kurma. Melalui buah
kurma itu, orang-orang semakin memuji syafaat kurma Kiai Karnawi. Kurma itu
bukan sembarangan, kurma ajwah yang
ditanam di Madinah, kurma nabi. Penonton pun menikmati pertunjukan dengan
antusias.
Tokoh Hanafi, pun mendengar
cerita-cerita dramatik tentang khasiat buah kurma Kiai Karnawi. Seperti, kisah
seorang lelaki yang hampir mati, dengan tubuh yang menghitam—nyaris gosong—sementara kulitnya kisut kering
penuh sisik kasar dengan borok kering. Lelaki itu terbelalak seolah melihat
maut yang begitu mengerikan. Orang-orang yakin dia terkena teluh. Kemudian,
tetangga memanggil Kiai Karnawi. Sesaat Kiai Karnawi dengan lemah lembut
menghampirinya, dan memberikan sebutir kurma. Besoknya, dia kembali bugar.
Lepas
dari itu, kesaktian kurma kiai Karnawi juga mendorong banyak orang untuk
berbondong-bondong datang padanya, meminta bantuan. Dan, lagi-lagi Kiai Karnawi
membantunya dengan sepenuh hati. Cerita ini, menampilkan seseorang dengan
kesaktiannya, dan Agus Noor yang piawai sebagai cerpenis terkenal di Indonesia
menuliskannya dengan menampilkan beragam simbol yang ada pada sendi-sendi
kehidupan, seperti politik, religiositas dalam alur ceritanya.
Berseni dari hati
Berteater, bagaimanapun juga adalah
berseni dengan hati. Seni yang bermula dari rasa, dan menuntut seseorang untuk
bisa berperan sesuai dengan karakternya. “Teater, wadah mengekpresikan diri dan
bisa menjadi apa saja,” ujar Mulyana, aktor teater.
Kendatipun, cerpen dan teater adalah
dunia dengan medium yang berbeda, tetapi keduanya adalah satu ruh, kesatuan
yang tak terpisahkan yang saling melengkapi untuk menyampaikan satu cerita
kepada publiknya. Dimana, dalam cerpen mengandung banyak tokoh, alur cerita,
latar, yang bisa dikembangkan menjadi sebuah naskah dalam pementasan teater.
Mulyana, mengisi tentang keaktoran
dengan pembacaan sajak epik yang fenomenal, Jante
Arkidam karya Ajip Rosidi. Ia membawakan itu dengan berapi-api, membuat
audiens hening. Pelan-pelan, sajak itu pun mengudara, lalu hening pun tercipta…
Sepasang mata/ biji saga//
Tajam tangannya/ lelancip gobang//
Berebahan tubuh-tubuh lalang/ dia tebang//
Arkidam,/ Jante Arkidam//
Dinding tembok/ hanyalah tabir embun//
Lunak besi/ di lengkungannya//
Tubuhnya/ lolos di tiap liang sinar//
Arkidam,/ Jante Arkidam//
Tajam tangannya/ lelancip gobang//
Berebahan tubuh-tubuh lalang/ dia tebang//
Arkidam,/ Jante Arkidam//
Dinding tembok/ hanyalah tabir embun//
Lunak besi/ di lengkungannya//
Tubuhnya/ lolos di tiap liang sinar//
Arkidam,/ Jante Arkidam//
Komentar
Posting Komentar