Image taken from Tumblr.
oleh : Syahrizal Sidik
Beberapa hal
yang terkadang membuat kita pengang,
di zaman yang serba banal.
Kutuliskan, catatan kegelisahan ini...
#Politik
Hampir setiap hari, kita kerap
menyaksikan di layar kaca tentang ketidak adilan di sekitar kita. Kasus-kasus
suap, korupsi, skandal, perilaku amoral merangkak pelan-pelan dari para elit
politik di negeri ini. Pelan-pelan, menggerogoti para pejabat pusat, lalu ke daerah, ke
kota-kota, ke kabupaten-kabupaten, ke kecamatan-kecamatan, ke
kelurahan-kelurahan, ke desa-desa. Semuanya semu, dibutakan halusinasi politik
bernama kekuasaan dan uang. Entah. Di sebatas maya pandangku kini, kian hari
kita merasa tinggal di negeri yang penuh gejolak, di warga Negaranya yang –
dulu katanya – penganut plurasime, menjunjung tinggi toleransi. Kembalikan
Indonesia Padaku! Begitulah penyair Taufiq Ismail dalam satu sajaknya. Kapan
kita akan menemukan kebebasan demokrasi ini bukan hanya terjadi di layar-layar
fiksi. Setiap waktu kita menyaksikan parade para koruptor terus bermunculan.
Tak bosan-bosan. Menyeruak ke permukaan. Indeks Persepsi Korupsi kita lebih
tinggi dari Singapura, Thailand, Filipina, dan… Malaysia. Kembalikan kekalutan
ini. Kita tak hanya bisa terus diam, menyaksikan wajah-wajah baru bermunculan
digiring para penyidik KPK. Politik, lambat laun menjadi senjata dualisme,
antara kampanye yang terus menyuarakan aspirasi rakyat, tetapi menguras habis
rakyat ketika jabatan sudah di atas angan. Kami ingin berhenti dari tragedi
ini. Kembalikan Indonesia padaku!
#Pendidikan
Jika pendidikan tak lagi
bersahabat, maka moral bangsa ini kian bejat. Begitulah. Saya mengumpamakan itu
dengan bahasa saya. Kita tak bisa lagi pungkiri dengan semua ini. Kemelut
panjang tengah mencederai institusi pendidikan di Negeri ini. Tak habis-habis,
tak juga lekang dari masalah yang kian panjang. Baiklah, saya akan sedikit
bercerita tentang seorang sisw SMP yang berkata kepada Kak Seto beberapa waktu
lalu di salah satu acara talkshow di
televisi swasta nasional.
“Kak, kurikulum di Indonesia itu paling hebat di seluruh dunia,”
“Oh ya.. hebat apanya?”
“Hebat untuk mematikan kreativitas siswanya,”
Tak pelak. Dialog pagi itu juga menjelaskan tentang keadaan seorang
siswa SMP yang belajar dengan beban mata pelajaran yang sangat banyak sekali.
Dia mengatakan, dia belajar layaknya
seorang robot yang harus banyak sekali menghafal ragam fakta-fakta,
setelah lulus dia tidak mendapatkan apa-apa. Hanya menjadi siswa penghafal.
Ilmu-ilmu yang diajarkan pun, lekas segera dari ingatan. Tidak kontekstual dan
mampu menjawab tantangan masa depan yang semakin kompleks ini. Ditambah lagi,
saya sangat terkejut, ketika suatu waktu di harian Republika menyatakan, menurut data Badan Pusat Statistik angka
pengangguran terbuka justru didominasi lulusan Perguruan Tinggi. Yang lebih
mencengangkannya lagi, angkanya mencapai 12 persen! Jauh dibandingkan lulusan
dari SMA, SMP, maupun SD. Inilah pertanyaan besar yang sering menghantui
pikiran saya, ketika yang lebih suram lagi, memang perguruan tinggi bukan untuk
mencetak lulusan yang siap kerja. Tetapi gelar akademisi lulusan sarjana yang
semakin banyak setiap tahunnya ini menimbulkan inflasi hebat, karena tidak
sesuai dengan jumlah lapangan pekerjaan yang ada. Ironi. Siapakah yang patut
disalahkan? Apa sebetulnya yang terjadi dengan pendidikan di negeri ini.
Bayang-bayang itu, selalu menjadi relikui yang tak pasti. Absurd. Kita harus bergerak, di generasi yang semakin segalanya
berkompetisi. Sebagaimana hidup, ia akan terus sejalan, bukan dengan paksaan.
Mengilhami setiap hati untuk mengerti dan berbagi. Bukan memaksa.
#Sosial Budaya
Saat sendi-sendi di tatanan
kehidupan kita berubah, lambat laun kita akan meninggalkan bahkan melupakan
jati diri. Kita akan lupa dengan identitas kita sendiri. Kebudayaan menjadi
gelanggang yang tak terpisahkan. Bagaimana mungkin, bangsa ini mampu bergerak,
jika tak ada landasan yang mendasarinya dengan luhur dan kokoh. Kita lahir,
besar, di tanah air yang menjadikan kita sebagai bangsa Indonesia. Bangsa
dengan historis yang tak lepas dari
kekayaan budaya, dari sejarah panjang kerajaan Sriwijaya sampai Majapahit,
dengan armada-armada tangguh yang Berbhinneka
Tunggal Ika. Pelahan, kita mulai melupakan tradisi itu. Kita menjadi arus
di perputaran masyarakat urban. Hedon, menjadi kepribadian kita saat ini.
Budaya, terus menjadi gerusan zaman yang tak terelakkan. Individual. Itulah
gambaran masyarakat kita saat ini. Tak lagi ada rasa saling peduli sesama, tak
lagi ada rasa yang membuat kita bersatu. Pecah. Kita berdiri sendiri. Di negeri
sendiri. Di tanah air sendiri. Maka tak pelak, Rendra menuliskan sajak seperti
ini dalam kumpulan puisinya, Blues untuk
Bonnie:
KESAKSIAN TAHUN 1967
Dunia yang akan kita bina
adalah dunia baja
kaca dan tambang-tambang
yang menderu.
Bumi bakal tidak lagi
perawan,
tergarap dan terbuka
sebagai lonte yang
merdeka.
Mimpi yang kita kejar,
mimpi platina berkilatan.
Dunia yang kita injak,
dunia kemelaratan.
Keadaan yang menyekap
kita, rahang serigala yang menganga.
Nasib kita melayang
seperti awan.
Menantang dan
menertawakan kita,
menjadi kabut dalam tidur
malam,
menjadi surya dalam kerja
siangnya.
Kita akan mati dalam
teka-teki nasib ini
dengan tangan-tangan yang
angkuh dan terkepal
Tangan-tangan yang
memberontak dan bekerja.
Tangan-tangan yang
mengoyak sampul keramat
dan membuka lipatan surat
suci
yang tulisannya ruwet tak
bisa dibaca
Begitulah, kita merayakan
tahun-tahun penuh kesangsian. Kutuangkan kegelisahan-kegelisahan ini. Biarkan
ia melepas bebas. Tak lagi mengganggu tidurku. Biarkan ia mengalir apa adanya.
Menjadi potret-potret yang kulepaskan di rana kata-kataku. Kita harus berhenti
dari kekalutan ini. Kembalikan Indonesia padaku!
12-12-2012
Komentar
Posting Komentar