Dinding langit tak terkunci.
Serupa isyarat bagi langkah kami untuk pergi. Hujan merayakan kesedihannya
sendiri. Tak terperi. Ada kalanya kita bersembunyi, di denting gelas. Tempat
terakhir kita bermuara, tempat akhir kita berjumpa. Kudengar, riuh orang-orang
bercengkrama. Tapi aku sepi. Tubuhku gigil sendiri. Hujan di luar sana semakin
memburu.
Segelas kehangatan itu tiba,
seratus delapan puluh mili air mengepungnya, melebur menjadi satu ramuan
istimewa. Teman yang pas, saat hujan menjumpaimu. Ia mengepul, asap putih
khasnya mengembun di dinding gelas, lamunanku tiba-tiba terhenti. Pada satu
dimensi.
“Apakah kau percaya tentang
cinta?” tanya gelas kepada sang kopi itu
“Bukankah, dia akan ada, saat
semuanya terasa saling melengkapi” tutur
sang kopi
“Ada kalanya, melengkapi pun
saling tak mengerti”
“Itu bagi kamu, yang
menghadapinya dengan tergesa”
“Maksudmu?”
“Dengar degup ini, cinta tak
perlu memilih”
“Dia akan tahu kemana harus
berlabuh” keduanya bersamaan
Diam. Langit telah runtuh oleh
kata-kata. Pelan. Segelas kehangatan itu, terus berjalan. Beriringan. Di luar
sana, hujan terus mengejarku, Menemukan cinta itu.
2012
Komentar
Posting Komentar