Malam memuram. Diammu menginfeksi udara dan
membuat dunia sungkan bersuara. Dunia 4 x 6 meter tempat kita duduk berdua.
Lenganmu kautarik menjauh untuk merengkuh dirimu
sendiri. tidak apa-apa. Aku mengerti. Duka membuatmu demam, dibuka kedinginan
tapi dibungkus dua pasang lengan bikin kamu keringatan. Bukan berarti saya
tidak butuh kamu, dulu sekali kamu memperingatkan.
Aku mengerti. Kesedihan selalu membawamu pulang
ke rahim ibu tempat engkau meringkuk nyaman sendirian padahal tidak. Ada dunia
di sekelilingmu. Ada aku di sampingmu. Tapi kamu mendamba rasa sendiri itu.
Diammu memapahku ke ujung pertahanan. Dan
akhirnya kuterdesak oleh hampa. Tak satu pun boleh menodai diammu. Telan napas
itu. Bungkus dan simpan di kantong untuk nanti dilarutkan di sungai.
Lamat-lamat, suara ramai membubung, merubung
dunia 4 x 6 tempat kita duduk berdua. Kudengar gerundel, kudengar gerutu,
terkadang batuk, decak lidah, hingga teriakan yang membuatku gemetar. Terakhir,
terdengar isak pelan. Namun siluetmu masih diam sempurna.
Bagaimana mungkin kamu jadikan tubuhmu sangkar
bagi perasaan? Bukankah perasaanlah kandang dari jasad ini? Dalam diammu, aku
mendengar banyak suara. Diammu berkata-kata.
Tangisanmu yang tak terlihat merobek ruang dan
waktu dan menghampiriku dengan caranya sendiri. Mari, kususutkan air mata itu,
kukecup keningmu halus, dan kutidurkan kepalamu di atas perutku yang hangat. Mari…
Kau dan aku mengembuskan napas. Tak lagi pengap.
Tidak ada yang bergerak. Namun diam itu telah runtuh oleh diam.
2000
Dee. 2006.Filosofi
Kopi. Jakarta : Gagasmedia
Komentar
Posting Komentar