Langsung ke konten utama

Dari Negeri Hujan


                                                                                        hikayat hujan 
hujan menciptakanku dari sebuah mata
yang tak mengenal tangis,
puing, juga luka.
hujan menjumpai sepatuku
mengetuk-ngetuk jejak langkah itu.
hujan mengaliri hening, menderas

: rebah di atas pucuk cemara

(hujan yang cemas, menggigirkan tangannya.
yang mendekap pada setiap senyap.
berlalu dalam derainya)

tiba-tiba hujan menemukan tangisnya sendiri
pada isak yang digelar dari nanar matanya.


luka, hanya turun menjadi kata.
pada sebuah puisi sore ini.

dan, hujan itu menjelma sihir para penyair.
yang menggetarkan dan menyulapnya

—pada hidup dan kesepian 





21 mei 2012, rabu
saat jarum jam, menunjukku pada angka 16:38  —disebelas ipa tiga


                                                   hujan, kita begitu dekat
                                                                                       : buat fl
siapalagikah yang dapat merapalkan musim?
setelah beberapa semu,
kita petik ranum cuaca, dari balik kata-kata.
atau, kita akan menukarkan hujan
dengan hangat tubuh kita
dan butiran hujan yang tepat jatuh
di antara rimbun dedaun—

kita begitu dekat.
seperti hujan yang perlahan
menyeka senyummu.
dari sinilah aku merindukan
saat jarak yang kita bentangkan
perlahan mendekat,
sedekat aku dengan hujan.
                                            
        bogor, 17 november 2011

        
                                                       kita bertemu, waktu itu
                                                                                   -bersama s.h  
                 
aku, lupa menisbatkan rindu pada nanar matamu.
mata yang tak mengenal pilu, dengan senyum paling manis
memuja kita dalam canda.
ceritakan, dan katakan —tentang yang kauingin—
sepanjang usia yang mempertemukan kita dalam kata
disini : 
dalam sebaris penutup sakral doaku.
sedang, kau menjelma sebuah isyarat
menjamah begitu tabah, dengan rindu penuh.
(senja ini, waktu menghitung kita dari belakang.
dan kita berlalu, bersama doa yang kita ukir, di atas sajadah cinta).

kita hanya tersekap,
pada kata yang kian senyap.

di lengang jalan menuju rumahmu
adzan di kejauhan mentasbihkan rindu di ujung namamu—
baris-baris angin yang mengangankan dirinya
: jatuh bersamamu.

siluet paling senja,
mendekap rapat orang-orang dalam sujudnya
: penuh doa

akankah, malam datang membawamu sebuah doa?
mungkin, hanya amin yang aman kau ucap.
pintu-pintu malam  mengecup, namamu.

13 juni 2012


pagi yang kutemukan
seperti sebuah   mata-mata

aku mengetuk pintu langit pagi.
kuketuk, dengan lutut sujud paling pagi.
dua cakrawala, lebih menjumpai airmata
dari dengkur tidur kita, semalam.

aku begitu lebam, semerah darah yang keluar dari mata-mata. matahari.
—kau seharusnya diam, disana dengan mata yang terpejam, tapi dunia akan tiada tanpa nyalamu—

aku pun diam. menjumpai derik matahari. mengejar ke segala sesar dan senyap. tapi tubuhku hanya berpaling pada daun pintu rumahmu, yang tak mengenal siapa adanya.


kian nyata, kita memendar jarak ini.
sebuah pagi tiba mengulur nisbi jarakmu pada lembaran aritmatika.

aku mengetuk-ngetuk rumahmu, pada sebuah buku yang terselip disana. diantara sebaris logaritma, seperti peri penari yang meliuk-legakkan tubuhnya pada sin cos dan tan.

aku mengetuk-ngetuk pintu rumahmu. dengan sajak yang kutulis pagi ini. serupa mata-mata, matahari yang melukis namamu, di mataku.


1 juni 2012
 



peristiwa selepas hujan

kenapa melulu dingin yang datang
dengan wajah sendu.
perempuan berkalung cemas, begitu tabah menunggu hujan  reda dari tangannya.
hujan itu datang menjemputnya.
 : dengan tubuh paling utuh

seorang lelaki —nun disana mengekalkan bait-bait hujan yang tersekap
dari jemari yang menari, dengan rintiknya. hujan itu mendekat, sampai di kaki-kakinya.
“berikan hujan itu padaku” ujar payung itu.

lelaki itu berkejaran dengan hujan,
menjemputnya, sampai hujan itu tiada.

bogor, april 2012

requiem for a remembrance

Menuliskannmu, kedalam bahasa tubuhku. kau mungkin, menamakan dirimu pada setiap cerita yang tak habis kita baca. Aku mengenal perih, yang kesekian. Sebuah telepon genggam, datang seperti mantra pengantar tidur, yang berkata tentang cinta.

Di linimasa, kita mengekalkan waktu: dengan abad yang berlari dari tiap mata kita. kita bertatapan, saat jatuh selat yang bersekat memisahkan kita. Hanya pekat. Aku pun belajar, membaca matamu. Hanya itu, dan kau berlari, mengejar pedih perih. Waktu terkadang menjadi ilusi yang menjerat angan kita yang berat. Aku lupa, sejak kapan rasa itu ada. Sejak kapan aku mengenalkan rindu pada waktu. Sejak kapan aku terlahir dan menjadi akhir mimpi dari tidurmu yang lelap. Hanya gelap.

(Adakah kau datang sesaat, sebelum gelap itu menjadi sebuah tanya pada lembar ingatan yang kutafsirkan dari ceruk hatimu. Kita membuka-tutup pintu hati, yang datang dan tiba tak mengenal siapa. Aku berteriak, sekuat dinding-dinding malam yang memugar dari bayanganku)

Dan kesendirian, hanya akan kembali. mungkin beberapa saat lagi. Sebelum aku tenggelam dan menggenang dari ingatanmu.


           Cibalagung, Mei 2012

pada mulanya adalah mimpi

seberkas tangan
begitu tergesa, didepan jendela.
hanya kaca, yang terselip
diantara bebayang, lalu menghilang.
diantara hapusan
jemari-menari, bocah-bocah
selepas petang.
ia memang sengaja —sepertinya—
meminjamkan debu waktu,
yang mengalungkan
pada lehernya.
serupa runcing kuku hujan*)
diantara lindap derapnya.
menerpa, lalu menepi.
pada sebuah janji, yang diingatnya.
: pagi tadi

kita  bisa meminjam ladam pitam
serupa warna, yang tersimpan
mengairi padang penghantar kepergian.
yang berlalu dalam riak biru.

: pada langit pilu.
  
30 maret 2012


 
*)Runcing kuku hujan adalah salah satu sajak  penyair Syahreza Faisal.  


untuk seseorang
                                                 : kepada fl
terkadang lenganmu selalu menjulur di ujung jendela itu. terbuka di antara rimbun dahan gerimis yang mengiris. dingin meniba di lenganmu yang tirus, dengan kaca-kacanya yang terkadang lebih beku dari dingin yang mengerlip di saku lenganmu.

aku tahu, terkadang waktu memang memisahkan –sengaja memisahkan untuk kita. senja itu telah lama kembali di matamu. aku melihatnya, sekejap setelah senyap harapku yang lindap di kukuh-kukuh hatimu yang kerap terkunci.

mungkin, kita pernah lupa dengan kenang yang menggenang di airmata wajahmu. ada dingin menjumpai semata tubuhku, yang beku dihujani mimpi-mimpi itu.

saat tiba senja, aku hanya ingin di dekatmu, di ujung mataku yang berkaca-kaca untuk sekadar mengenangmu. hanya itu. dengan kedua lenganku yang menyambut tabah tubuhmu.

kita mungkin berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta.


—desember, 2011—


riwayat perjalanan dalam mataku

di mataku hanya ada angin.
juga kekosongan semu
yang menciptakan kota ini tenggelam.

kutebar segala kabar, di atas duka cuaca
dan kukuh-kukuh waktu yang ragu.

di kedalaman matamu
kureguk, bilur yang gugur.
menjadi ramuan paling pahit.
pada setiap keterasingan

membakarmu, membakarku!


2011



lingkaran gerimis

gerimis itu datang tiba-tiba. 
saat aku lelap dalam rebahku. 
sepasang tangan  mengusik –bayangan— 
tubuhku yang tertukar diantara rintiknya.

gerimis itu menangis
kudengar ia menjauh dari tanganku. 
menjumpai sepi yang terampai. 
lalu tak sampai.

gerimis itu berlalu
mengantarkan dingin yang
melingkar utuh di lenganku.

gerimis seperti mengenalku.
dulu.

2011

kota yang tak mengenal padam
                                : orang-orang pinggiran


tujuh tubuh dengan nganga luka
bersetubuh dengan angin subuh.
dengan mata terpejam, ia meronta
pada jerat-jerat malam.

(di pinggiran jalan, tujuh tubuh dengan nganga luka, 
bersemayam di malam kelam. 
sebuah kota tak mengenal padam, datang membenam). 

lelap, tujuh tubuh  mengerjap 
di antara dinding dingin penuh musim. 
tujuh tubuh renta, penuh nganga luka.
bersemayam, di altar malam.
dalam duka.

Bogor, April 2012



parousia

/I/
setelah habis misa Natal, aku kembali. menjelma pedih, luruh dalam lukalukaku yang belum usai. ada purnama yang tenggelam, disikap redup lentera dilenganku.
mataku terlalu tirus untuk menyeka airmata yang mengairi kepergiannya, setahun yang lalu. sepertiga kenangan telah lama memupuri retak tanah ini.

/II/
ini kali terakhir aku mengenangnya kembali. setelah sekian pahit kita reguk dengan bilur yang tak henti menepi. adalah semata takdir yang lahir dari rahim tangisnya. kini, saat sakit seperti para pembezoek yang menghampiri. ada saat waktu yang paling nisbi menjadi rajam anganku.



/III/
aku kembali ke mata lindu  yang menujahkan ngilu, yang menjejak-hentakkan harapannya yang selalu sirna. saat lentera padam, tiba tiba seperti ladam yang menghunjam tubuhku. ini kali terakhir kutatap utuh tabah tubuhku di ujung figura yang kerap ibu simpan di hati kami yang lirih.

/IV/
aku sedang mendayungkan seruap sampan harapan, dengan lengan sajak yang kuukir dari kukuh kakikakiku. namun itu semata tak surut mengairi sungai doaku yang kerap terucap, untuk ibu. inilah jejak sajak yang kutuliskan untuknya, seperih kasih yang tak terbagi. seperih mati.

2011


surat kecil untuk zhang da*)

/I/
kita telah lama menyemai syukur pada sebuah pagi. saat desau anak-anak pelangi merantaui dinding langit beku, menyisakan larik lanun yang terhempas dari tangan matahari.

/II/
fajar adalah serupa nirwana yang hadir dari tiap lelembar pagi, ia mencipta ribuan cita dari balik geribik tua –tempat kita menanam rindu, dari bebutir padi yang tercipta saat jerit menjarit purnama yang perlahan tenggelam.

/III/
Zhang Da,
beribu kami hidup dari tangan mungilmu, seperti isyarat yang kueja dari tatapan matamu
: pilu

saat sungai mengalirkan remah sejarah, ada tangan malaikat yang memeluk rapat tubuhmu. disaat senja yang jingga mengantarkan kepergian ibu. tangis yang teramat alit untuk mengecap duka.

/IV/
Zhang Da,
nanar matamu menujahkan ngilu yang tiada henti. mengaliri sungai kepedihan yang kau airi sendiri dari peluh seluruh. sementara langit seperti tak henti membumikan kepedihan. saat ayah tinggallah pelitamu, menggenang dukamu saat langit memecahkan ringkih kelambu, dari tabah tubuhmu itu.

  
/V/
Zhang Da,
adalah pengejar pagi, saat syukur tak henti mengucap takzim kepada matahari yang menjadikannya mimpi. Saat tabah mendekapkan sunyi yang lindap, pada waktu. meski perih menyerpihkan lirih.
: pedih.
   

November 2011



*)Zhang Da adalah seorang anak kecil dari China yang mendapat penghargaan dari negaranya, karena ketabahannya menjaga Ayahnya yang menderita penyakit lumpuh. Sementara ibunya telah lebih dahulu meningggal dunia.

orizuru pada daun yang gugur
/I/
ingin sekali sejenak  aku larut di wajahmu.  memandangmu lekat sampai senja yang kan tiba menunggu.
ajaklah aku menggapai erat tanganmu, dibatas senyummu yang berkata tentangku, juga tentangmu.
seperti cerita malam itu, yang hangat memeluk mimpi-mimpi kita. usai, disikap purnama, menyisakan kisah yang berlembar  di buku harianku. aku mengisahkan tentangmu.

/II/
pada daun yang gugur,  jatuh menjumpai. adalah hijau, oranye,dan sebagian cokelat warnanya, menyibakkan kebahagiaan. aku ingin sekali berkata:
lalu, angin itu terbang mengantarkanmu
mengetuk pintu bibirmu yang rapat.

/III/
pagi ini, aku ingin menjumpai angin dan juga daun-daun gugur. yang berserak sesak diatas tetumpuk tanah-tanah yang basah. embun  sudah mengukir pagi, setelah datang matahari menjemput perbincangan kita
pagi itu. disini, ditempat ini:
perlahan daun-daun jatuh berguguran.
melambaikan cerita tentangmu.

disampingmu, aku mendekap tawa bahagiamu, memotret wajahmu yang tersenyum, dan juga canda tawa yang berkisah keluh kesah. ketika daun-daun gugur itu jatuh di hitam mayang rambutmu. aku mengambilakannya untukmu:
lalu, kusemai daun  gugur itu
tertulis namaku, juga namamu.

/IV/
ada getaran sunyi saat itu, ketika belibis beranjak pergi. menerbangkan sayapnya lepas, di udara yang kini bias. sambil berlari kecil kupanggil namamu. disini:
dari kejauhan. sambil kudekap erat orizuru yang kini ditanganku. yang juga pemberianmu. dulu sekali,   ketika kita bersama membuatnya. kini, kusimpan pada hidup yang mengisahkanku, juga tentangmu.
disini,aku berkata: 
di lembah kisah,
kau menghela lelah diujung desah nafasku.
dalam getir degup jantungku
menggetarkan segugu tanyaku yang risau
mengeja kata di rona merah wajahmu.

selamat jalan, orizuru. kenanganku kini tersimpan di daun-daun gugur.
seperti pagi itu.


Bandung, 18-7-2011

aku mencarimu dalam dimensi hujan

/I/
suatu ketika
dalam dimensi hujan
aku masih terhuyung, dalam alunan kabut sepi itu.
mengantarkanku pada altar malam,
dan membukanya dengan sepucuk risau
serta kerinduan, yang kusimpan dibalik tanya.

/II/
ah,
seketika deras hujan
menyeretku jauh menepi.
yang terputus oleh detak waktu.
meniris.
teriris.
jiwaku.
pada dingin yang masih terasa,
semasih senja.

/III/
dalam lorong dimensi hujan,
yang jatuh dalam linangan airmata hati.
tak lagi dapat ku menemukanmu
di sela getir yang menggigil
dalam aroma tubuhmu yang tak lagi ada.
aku mencarimu,
terus dan terus,sampai kebuntuan mengakhiri.
dalam langkah sepi ini.

/IV/
di titik kerinduanku yang terpendam,
pada seucap tanya yang tak mampu lagi kujawab.
ketika doa suci mengantarkanmu,
menuju keabadianNya.

/V/
dalam tertatih, aku menangis
sembari ku kais-kais, sisa taburan bunga
melati, dan kamboja.
yang berserak di lantai itu.
sepi.
aku sendiri
dengan tangis yang tak mampu kumengerti

/VI/
kini,
bersama sebongkah asa
yang kurajut bersama kepedihan
aku menatapmu.
dalam figura dan lilin yang kubawa malam ini.
yang mengantarkanmu,
di alam kebahagiaan.
dalam waktu yang meniris,
bengis.

/VII/
aku masih tak sanggup
menatap diorama cinta
yang kau beri waktu itu.
dalam rajutan kasih, berlembar cintamu.
yang kau beri lewat senyummu
: penuh arti

/VII/
lembaran kehidupan berlalu
seperti  hujan dan kabut dikala itu.
dalam dingin yang mengantarkanmu.
dalam kabut yang membawamu,
serta hening  yang menyelimuti
hati dan ketulusan jiwamu.

/IX/
aku mencarimu,
dalam dimensi hujan
ketika kepedihan,
hinggap di lorong keabadian.

disana,
kulihat bayanganmu.
seperti hujan di kala itu.


Bogor, Juni 2011



kata-kata yang tidur

“apa kau pernah mengenal tidur dalam mimpimu”
seraya kata pada sebuah buku di ujung lemari tak berpintu itu.
                                    
kata yang kita baca, pagi ini. terlelap pada sebuah dinding sejarah nan berdebu. setelah kita alpa mengingatnya lagi. setelah lelah kita berjibaku dengan buku, masa sekolah yang lelah. sebuah ijazah, bertuliskan sebuah nama yang permata. alit, mencatatkan nasibnya pada selembar hikayat hidup.
                                    
“aku ingin berbicara, tentang hidup”
ucap  sebuah buku di rak-rak yang berserak di setapak jalan lemari petak yang nampak retak. lalu debu, lalu waktu, mengecup dari nafas-nafas panjang mimpinya.
    
“ceritakan padaku tentang hidup”
ujar sebuah majalah yang tak terjamah di dekat jendela itu. tangan-tangan tak lagi mengusiknya ramah. aku hanya terpekur, dan bermeditasi dengan angin dan kesepian yang hampa. untuk sekian yang semakin jemu.

“hidup adalah pelaksanaan kata-kata”
begitu kata Rendra. Dan, kita hanya berkata-kata pada sebuah kata yang tidur dari mimpi panjangnya.
“hidup adalah kesetiaan tentang makna dari setiap kata”

    
hujan di hari minggu
                                                bersama fl

seperti jeda hujan yang tak juga tiada, terkadang ada rintihan dingin yang datang begitu beku. mengerjap pada gelap. seperti dinding yang berkaca pada setiap tangisnya, selepas deras hujan itu. bayangannya membaur, lalu mengabur pada setiap teriaknya. ada setiap kata yang belum usai, ada berkas tanganmu yang mengembun dari balik kaca itu, dan belum kuhapus dari ingatanku.

“tapi waktu berlalu seperti debu,
yang kadangakal tenggelam
dari ingatan kita”

 hujan kali ini datang begitu tabah, seperti gelap yang terlelap dalam rebahnya. mungkin hanya sebuah alkisah, penutup mimpi dalam tidurmu yang resah.

“titipkan hujan itu padaku, sebab aku bisa membawanya, dengan tangan yang kupinjam
dari garis-tangan-waktu, yang bersembunyi dalam kehampaannya”

karena ia akan menyimpannya.
hingga tiada.

  
—26 Februari 2012—



perahu kertas

saat jauh  adalah jarak yang membentang seperti sauh perahu-perahu yang kadang bisa karam kapanpun juga. kenalkan aku pada jarak yang melingkarimu itu, agar aku bisa meretasnya menjadi sebuah mozaik yang menyusun perahu-perahu kertas itu dari lenganmu. aku ingin membuatnya bersamamu.

lihat sejenak, aku sedang disini. sedari dulu saat pertama aku mengenalmu jauh seperti ini. aku hanya ingin membuatkanmu perahu kertas, seperti dulu ia –ayah— membelikanku perahu mainan, diatas air yang berlayar dimatamu. memang hanya perahu kertas, tapi ini kuciptakan untukmu.
         
         2011

perempuan yang berbicara tentang kehidupan
ini gelas terakhir,
tegukan ketiga setelah garis-garis takdir
menepi-lalu menepiskan sebuah rahasia.
: pecah
diantara denting yang berdenyar
begitu samar.

garis tangannya
terlukis atas nama darah
yang dipahat
dari peri bermata perih.
direguknya gelas terakhir,
dengan mata sendu.

ia berkaca: inikah hidup?
mengapa berlalu begitu abu. 
lalu menghilang
dalam bayanganku.


melukis namamu pada sebait hujan

gelap tiba menyeka lengang
disapu lembayung murung.
disana, kau menitipkan teriak,
pada detik jam yang diam.
nyata kian nyala,
memendar matamu.
kuramu, rintihan sesak
di langit yang sembab.
sembilu, menujumu ke lekuk ceruk.
: pedih

adakah, datang sunyimu.
pada dengung gaung, yang kembara.
hanya kata, yang mampu mengubah
diam dari mimpinya

sebab hidup, tak selamanya ada dalam nyala.
adakalanya, redup yang memejamkan mata kita.

: di keabadian sana
        juli, 2012

menuju ramadhan

kusapu gelombang tenang,
mengalir syahdu ke wajahmu.
mendaras dzikir, di paras asmamu.

lalu,biarkan tubuhku mendesir,
di syair-syair paling nyinyir.
selaksa ribuan pasir, menemukan dirinya
: takdir

fatamorgana, dunia.
membikin ngilu, penuh seluruh.
: tubuhku
menjadi lingkaran dosa.
membakarku, membakarmu!

Tuhan,
di atas kesunyian yang purba, kurapalkan segala doa.
khusyuk, di suluk-suluk yang masyuk.
ampuni hamba, yang tiada daya.
mendoa, di atas sujud para syuhada.
bermuara, di surga para anbiya.

jejak keabadian
                 kepada guru

lewat matahari yang terbit dari rahim kata-kata. ia menjelma cahaya yang memancarkan sebait doa pada pijar nanar matapagi. di telungkup jemari, mengalirkan riak jingga airmata jiwa. memanjang namamu seperti gemericik embun pagi yang hadir di tiap jeda surya yang menunggunya.

adalah lembar sejarah, yang kaupahatkan pada elegi waktu: seperti ribuan abjad yang kueja di baris mutiara kata. dilangkahmu, kau menghela dengan tabah. ketika kau rebah diatas tangan-tangan waktu yang mendekap
:waktu seperti berucap
menyemaikan  senyap.

kesederhanaan yang kau ajarkan, yang mengantarkanya menuju lautan kesabaran.  selaksa seribu doa yang mengantarkanmu.
di baktimu,  ada segurat cahaya matahari itu, yang perlahan beranjak pergi mengantarkannya menuju senja yang kau ukir dengan kesederhanaan.
 ia berlabuh pada ranting gerimis, jatuh di atap-atap bumi.

 melambaikan seucap kata perpisahan untukmu
 :dengan doa
 kami menyampaikan pesan kedamaian.
dalam jejak,
yang tak bisa pupus.

kesetiaan kemudian tiba di sudut alunan waktu. membawa kenangmu.
abadi.

September, 2011

    kepada angin yang mati tadi pagi                                                       
                      : oktober hitam *)
seperih mati
yang kau sayat
dengan tangan waktu
                 yang
                                 tak juga
                                        binasa.

                                           ia bersembunyi
                     pada kaca embun
           yang mengalun
      pada jeda
jendela pagi.
                  lalu angin itu mati
                                             pagi tadi !




*) Oktober hitam adalah salah satu sajak Taufiq Ismail dalam buku kumpulan puisi Tirani dan Benteng (1966).

o, negeri
inikah negeri yang pukang? kukenang dulu.
kupinang, dengan taburan sajak sendu.
juga keterasingan waktu.
sementara ombak setia,
berlayar di atas samudera cinta yang fana.

o, cinta
adalagikah, yang dapat menakarmu?
dengan mahar paling senyap.
juga kelepak sayap yang lindap,
di kukuh hatimu. kubisikkan
kata rindu, lewat sajak-sajakku padamu.  

o, sajak
inilah jawaban setiap kata,
yang mampu dituliskan.
selaksa sihir para penyair,
begitu nyinyir.
siapakah yang menjelma dirimu,
mengatakan hujan dan rindu.
di sunyi katamu.

Desember,2011
                   
                                                               
                                                                kepada - Mu

sesal menatap bayanganku.
kuramu, kepedihan yang menghujan.
di lubuk jiwa.

dengan mata nyalang,
kuterjang gelombang kesangsian.
kepingan puisi, menujahkan dirinya ilusi.

kuketuk, dinding langit 
agar usai, segala duka yang sangsai.
dan kuhapuskan keabadian
di atasnya.
menjadi labirin, mahasunyi.

kuhampiri, lelehan airmata perih.
menjadi penuh, seluruh.
luka-lukaku

2011


                 beberapa #flashpoem

di langit yang tak berpintu
aku mengetuk suara hampa.

jadikan aku kata
di tubuhmu yang tak pernah ragu

teriakkan aku sajak,
agar aku bisa lelap di senyap puisimu.

lelaplah, dalam tubuhku.
walau perih, begitu lirih memelukmu.

aku bercerita,
dan kau adalah jalan, yang melapangkan.
menuju surga.

aku menjadi hujan,
bawakanlah, aku pintu menuju hatimu
yang tak pernah sendu.

kau radio,
jadilah gelombang yang syahdu.
menemani hidup dan matiku.

aku bergetar, memelukmu.
teruslah aku, dekap. sampai kau terlelap.

aku tertidur, kata-kata tertidur.
tapi kau tak pernah bisa lepas
dari mimpiku.
  
pejamkanlah, matamu.
dan aku mendekap senyummu,
dari kejauhan.

aku kata, dan kaulah cerita
yang kutuliskan dalam kataku.

kita begitu senyap,
dan larut dalam harap.

aku menjadi perigi di mata pagi,
dan kau adalah kuali yang membentangkan jiwa,
di lubukku.

adakah yang lebih sunyi dari gelombang rindu,
sedang aku memahatkan puisi,
pada waktu.

aku datang menuliskanmu,
tersenyumlah, walau kita jauh dalam ketiadaan.

detak jam tak selamanya diam,
hendaklah kau menuju detik di tubuhku.

di jantungmu, segala rindu berdetak.
menjadi nyala, di senyap jiwaku.

aku datang, mengetuk pintu rumahmu.
kau, membuka pintu, sepenuh rinduku.

tinta yang habis kulukiskan,
tiba-tiba aku teringat. itulah dirimu
yang tak habis kulukiskan.

sebuah pita, warna abu, biru, ataupun ungu.
tapi kau berhak tahu,
kau segalanya warna terbaik bagiku.

  adakah yang lebih gemetar,
dari perjumpaan sunyi yang paling puisi.

aku adalah catatan, yang menuliskan
: antara kenangan, juga kepahitan.

ceritakanlah padaku, tentang rahasia.
dan, kita membukanya.
dengan puisi masa lalu.

kau, perempuan yang menangis.
berderailah, airmatamu.
: menuju deras, di jantungku.

di senyap penghujan, tubuhku berlinang.
bermuara, pada waktu yang rahasia.

di perjumpaan, kita menemukan keasingan.
di jantungmu, segala nyala berdetak.
: menjadi aku, menjadi nyalamu.

yang datang tanpa sebuah nama,
yang berlalu meninggalkan kenangan.
: dari ketiadaan

kau, adalah tanya dalam jawabku.
tapi, aku tak pernah lupa.
sejak kapan kau ada?
: untukku.

bernyanyilah. lagukan kesedihan 
reguklah, anggur kepedihanku.
: di nadimu

segala berawal, segalanya untuk ada.
segala yang kukenal, segalanya hanya samar.

jika kesederhanaan itu ada,


maka ia tak akan berlalu untuk tiada. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan Menulis Puisi Prosais : Ulasan Puisi Syahrizal Sidik

oleh : Jamal D. Rahman* Jejak Cahaya Malam Nuzulul Qur’an               kepada : malam Nuzulul Qur’an /i/ di riak jingga airmata jiwamu, berurai namamu memanjang seperti gemericik hujan yang jatuh kedalam rongga tabah tubuhku yang rubuh. lalu, menghampiri  jemari. memantik di dingin sunyi yang memapah deru paru. /iii/ adalah cahaya sunyi di dingin itu, ketika  kakilangit menjejak langkah di dekap sujudku yang rapat. memahat lekat ayat-ayat suci, terpatri erat mengakar. lindap didegup jantung, darahku kaku. kelu. /iii/ sudah kutahu cerita tentangMu. malam begitu beku, meniris  gerimis. jatuh diatap-atap bumi yang meratap. senyap. /iv/ jauh sebelum itu, bumi seperti rerengkuh angkuh, senjakala tiada. lembayung terpasung dikais dera tiada tara. angin mati, mendesahkan resah di malam itu. /v/ dikedamaian suatu ketika, malaikat turun kebumi, memapar kabar. lauh mahfudz menyala ...

Jurus GOTO Memoles Laporan Keuangan

                                                                                                               Katadata I Andrey Rahman  Usai melepas bisnis e-commerce Tokopedia ke TikTok, GOTO terus melakukan upaya pemangkasan beban usaha untuk mencapai profitabilitas lebih cepat, termasuk pelepasan unit bisnis GoTo Logistics.   GOTO mencatatkan penurunan kerugian bersih signifikan pada kuartal peryama dan kenaikan pendapatan sejalan dengan strategi pertumbuhan pada ekspansi pengguna, pengurangan beban operasional, dan penguatan kemitraan dengan TikTok dan Bank Jago.  Manajemen GOTO akan melakukan perombakan jajaran pengurus pada RUPST/RUPLSB Juni. Analis pasar modal memperkirakan prospek sa...

Mengenal Komunitas Airbrush Indonesia (KAI)

FOTO-FOTO: DOK.SYAHRIZAL SIDIK Anggota Komunitas Airbrush Indonesia (KAI) sedang “beraksi” mengekplorasi cat pada tangki bahan bakar sepeda motor agar menjadi nampak artisitik dan unik pada Minggu, (10/11) di Pelataran Parkir Timur Senayan,  Jakarta Pusat, dalam rangkaian acara Indonesia Motorcycle Fest 2013.         Saling Berbagi Melalui Seni “Kami semua seperti keluarga di sini,” begitulah ujar Pay (37), ketua Komunitas Airbrush Indonesia (KAI), sebuah organisasi yang didirikan atas keinginan dan inisiatif bersama, sekumpulan orang   yang memiliki minat yang sama, yakni; airbrush. Sebuah seni yang terbilang “baru” di Indonesia. Seperti apa ceritanya?      Di tengah cuaca terik ibukota, area parkir Timur Senayan, Gelora Bung Karno Jakarta dipadati ribuan pengunjung dari berbagai daerah di Indonesia. Pagelaran Indonesia Motorcycle Fest 2013, yang diselenggarakan pada Sabtu-Minggu, (9-10/11) itu berhasil menarik animo m...