hikayat hujan
hujan menciptakanku dari sebuah mata
yang tak mengenal tangis,
puing, juga luka.
hujan menjumpai sepatuku
mengetuk-ngetuk jejak langkah itu.
hujan mengaliri hening, menderas
: rebah di atas pucuk cemara
(hujan yang
cemas, menggigirkan tangannya.
yang mendekap pada setiap
senyap.
berlalu dalam derainya)
tiba-tiba hujan menemukan tangisnya sendiri
pada isak yang digelar dari nanar matanya.
luka, hanya turun menjadi kata.
pada sebuah puisi sore ini.
dan, hujan itu menjelma sihir para penyair.
yang menggetarkan dan menyulapnya
—pada hidup dan kesepian
21 mei 2012, rabu
saat jarum jam, menunjukku pada angka 16:38 —disebelas ipa tiga
hujan, kita begitu dekat
: buat fl
siapalagikah yang dapat merapalkan musim?
setelah beberapa semu,
kita petik ranum cuaca, dari balik kata-kata.
atau, kita akan menukarkan hujan
dengan hangat tubuh kita
dan butiran hujan yang tepat jatuh
di antara rimbun dedaun—
kita begitu dekat.
seperti hujan yang perlahan
menyeka senyummu.
dari sinilah aku merindukan
saat jarak yang kita bentangkan
perlahan mendekat,
sedekat aku dengan hujan.
bogor, 17 november 2011
kita bertemu, waktu itu
-bersama s.h
aku, lupa
menisbatkan rindu pada nanar matamu.
mata yang tak mengenal pilu, dengan senyum
paling manis
memuja kita dalam canda.
ceritakan, dan
katakan —tentang yang kauingin—
sepanjang usia yang mempertemukan kita dalam
kata
disini :
dalam sebaris penutup sakral doaku.
sedang, kau menjelma sebuah
isyarat
menjamah begitu tabah, dengan rindu penuh.
(senja ini,
waktu menghitung kita dari belakang.
dan kita berlalu, bersama doa yang kita
ukir, di atas sajadah cinta).
kita hanya tersekap,
pada kata yang kian senyap.
di lengang jalan menuju rumahmu
adzan di
kejauhan mentasbihkan rindu di ujung namamu—
baris-baris angin yang mengangankan dirinya
: jatuh bersamamu.
siluet paling senja,
mendekap rapat orang-orang dalam sujudnya
: penuh doa
akankah, malam datang membawamu sebuah doa?
mungkin, hanya amin yang aman kau ucap.
pintu-pintu malam mengecup, namamu.
—13 juni 2012—
pagi yang
kutemukan
seperti
sebuah mata-mata
aku mengetuk pintu langit pagi.
kuketuk, dengan lutut sujud paling pagi.
dua cakrawala, lebih menjumpai airmata
dari dengkur tidur kita, semalam.
aku begitu lebam, semerah darah yang keluar
dari mata-mata. matahari.
—kau seharusnya diam, disana dengan mata yang
terpejam, tapi dunia akan tiada tanpa nyalamu—
aku pun diam. menjumpai derik matahari.
mengejar ke segala sesar dan senyap. tapi tubuhku hanya berpaling pada daun
pintu rumahmu, yang tak mengenal siapa adanya.
kian nyata, kita memendar jarak ini.
sebuah pagi tiba mengulur nisbi jarakmu pada
lembaran aritmatika.
aku mengetuk-ngetuk rumahmu, pada sebuah buku
yang terselip disana. diantara sebaris logaritma, seperti peri penari yang
meliuk-legakkan tubuhnya pada sin cos dan tan.
aku mengetuk-ngetuk pintu rumahmu. dengan
sajak yang kutulis pagi ini. serupa mata-mata, matahari yang melukis namamu, di
mataku.
1 juni
2012
peristiwa selepas hujan
kenapa melulu dingin yang datang
dengan wajah sendu.
perempuan berkalung cemas, begitu tabah
menunggu hujan reda dari tangannya.
hujan
itu datang menjemputnya.
: dengan tubuh paling utuh
seorang lelaki —nun disana mengekalkan
bait-bait hujan yang tersekap
dari jemari yang menari, dengan rintiknya.
hujan itu mendekat, sampai di kaki-kakinya.
“berikan hujan itu padaku” ujar payung itu.
lelaki itu berkejaran dengan hujan,
menjemputnya, sampai hujan itu tiada.
bogor, april
2012
requiem for a remembrance
Menuliskannmu, kedalam bahasa tubuhku. kau
mungkin, menamakan dirimu pada setiap cerita yang tak habis kita baca. Aku
mengenal perih, yang kesekian. Sebuah telepon genggam, datang seperti mantra
pengantar tidur, yang berkata tentang cinta.
Di linimasa, kita mengekalkan waktu: dengan
abad yang berlari dari tiap mata kita. kita bertatapan, saat jatuh selat yang
bersekat memisahkan kita. Hanya pekat. Aku pun belajar, membaca matamu. Hanya
itu, dan kau berlari, mengejar pedih perih. Waktu terkadang menjadi ilusi yang
menjerat angan kita yang berat. Aku lupa, sejak kapan rasa itu ada. Sejak kapan
aku mengenalkan rindu pada waktu. Sejak kapan aku terlahir dan menjadi akhir
mimpi dari tidurmu yang lelap. Hanya gelap.
(Adakah kau
datang sesaat, sebelum gelap itu menjadi sebuah tanya pada lembar ingatan yang
kutafsirkan dari ceruk hatimu. Kita membuka-tutup pintu hati, yang datang dan
tiba tak mengenal siapa. Aku berteriak, sekuat dinding-dinding malam yang memugar
dari bayanganku)
Dan kesendirian, hanya akan kembali. mungkin
beberapa saat lagi. Sebelum aku tenggelam dan menggenang dari ingatanmu.
Cibalagung, Mei 2012
pada mulanya adalah mimpi
seberkas
tangan
begitu
tergesa, didepan jendela.
hanya
kaca, yang terselip
diantara
bebayang, lalu menghilang.
diantara
hapusan
jemari-menari,
bocah-bocah
selepas
petang.
ia
memang sengaja —sepertinya—
meminjamkan
debu waktu,
yang
mengalungkan
pada
lehernya.
serupa
runcing kuku hujan*)
diantara
lindap derapnya.
menerpa,
lalu menepi.
pada
sebuah janji, yang diingatnya.
: pagi
tadi
kita bisa meminjam ladam pitam
serupa
warna, yang tersimpan
mengairi
padang penghantar kepergian.
yang
berlalu dalam riak biru.
: pada
langit pilu.
30 maret 2012
*)Runcing kuku hujan adalah salah satu
sajak penyair Syahreza Faisal.
untuk seseorang
: kepada fl
terkadang lenganmu selalu menjulur di ujung
jendela itu. terbuka di antara rimbun dahan gerimis yang mengiris. dingin meniba
di lenganmu yang tirus, dengan kaca-kacanya yang terkadang lebih beku dari
dingin yang mengerlip di saku lenganmu.
aku tahu, terkadang waktu memang memisahkan
–sengaja memisahkan untuk kita. senja itu telah lama kembali di matamu. aku
melihatnya, sekejap setelah senyap harapku yang lindap di kukuh-kukuh hatimu
yang kerap terkunci.
mungkin, kita pernah lupa dengan kenang yang
menggenang di airmata wajahmu. ada dingin menjumpai semata tubuhku, yang beku
dihujani mimpi-mimpi itu.
saat tiba senja, aku hanya ingin di dekatmu,
di ujung mataku yang berkaca-kaca untuk sekadar mengenangmu. hanya itu. dengan
kedua lenganku yang menyambut tabah tubuhmu.
kita mungkin
berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta.
—desember, 2011—
riwayat perjalanan dalam mataku
di mataku hanya ada angin.
juga kekosongan semu
yang menciptakan kota ini tenggelam.
kutebar segala kabar, di atas duka cuaca
dan kukuh-kukuh waktu yang ragu.
di kedalaman matamu
kureguk, bilur yang gugur.
menjadi ramuan paling pahit.
pada setiap keterasingan
membakarmu, membakarku!
2011
lingkaran gerimis
gerimis itu datang tiba-tiba.
saat aku lelap
dalam rebahku.
sepasang tangan mengusik
–bayangan—
tubuhku yang tertukar diantara rintiknya.
gerimis itu menangis
kudengar ia menjauh
dari tanganku.
menjumpai sepi yang terampai.
lalu tak sampai.
gerimis itu berlalu
mengantarkan dingin yang
melingkar utuh di lenganku.
gerimis seperti mengenalku.
dulu.
2011
kota
yang tak mengenal padam
: orang-orang
pinggiran
tujuh tubuh dengan nganga luka
bersetubuh dengan angin subuh.
dengan mata terpejam, ia meronta
pada jerat-jerat malam.
(di pinggiran jalan, tujuh tubuh
dengan nganga luka,
bersemayam di malam kelam.
sebuah kota tak mengenal padam,
datang membenam).
lelap, tujuh tubuh
mengerjap
di antara dinding dingin penuh musim.
tujuh tubuh renta, penuh
nganga luka.
bersemayam, di altar
malam.
dalam duka.
Bogor, April 2012
parousia
/I/
setelah habis misa Natal, aku kembali. menjelma pedih,
luruh dalam lukalukaku yang belum usai. ada purnama yang tenggelam, disikap
redup lentera dilenganku.
mataku terlalu tirus untuk menyeka airmata yang mengairi
kepergiannya, setahun yang lalu. sepertiga kenangan telah lama memupuri retak
tanah ini.
/II/
ini kali terakhir aku mengenangnya kembali. setelah
sekian pahit kita reguk dengan bilur yang tak henti menepi. adalah semata
takdir yang lahir dari rahim tangisnya. kini, saat sakit seperti para pembezoek
yang menghampiri. ada saat waktu yang paling nisbi menjadi rajam anganku.
/III/
aku kembali ke mata lindu
yang menujahkan ngilu, yang menjejak-hentakkan harapannya yang selalu
sirna. saat lentera padam, tiba tiba seperti ladam yang menghunjam tubuhku. ini
kali terakhir kutatap utuh tabah tubuhku di ujung figura yang kerap ibu simpan
di hati kami yang lirih.
/IV/
aku sedang mendayungkan seruap sampan harapan, dengan
lengan sajak yang kuukir dari kukuh kakikakiku. namun itu semata tak surut
mengairi sungai doaku yang kerap terucap, untuk ibu. inilah jejak sajak yang
kutuliskan untuknya, seperih kasih yang tak terbagi. seperih mati.
2011
surat
kecil untuk zhang da*)
/I/
kita
telah lama menyemai syukur pada sebuah pagi. saat desau anak-anak pelangi
merantaui dinding langit beku, menyisakan larik lanun yang terhempas dari
tangan matahari.
/II/
fajar
adalah serupa nirwana yang hadir dari tiap lelembar pagi, ia mencipta ribuan
cita dari balik geribik tua –tempat
kita menanam rindu, dari bebutir padi yang tercipta saat jerit menjarit purnama
yang perlahan tenggelam.
/III/
Zhang
Da,
beribu
kami hidup dari tangan mungilmu, seperti isyarat yang kueja dari tatapan matamu
:
pilu
saat sungai mengalirkan remah sejarah, ada
tangan malaikat yang memeluk rapat tubuhmu. disaat
senja yang jingga mengantarkan kepergian ibu. tangis yang teramat alit untuk
mengecap duka.
/IV/
Zhang
Da,
nanar
matamu menujahkan ngilu yang tiada henti. mengaliri sungai kepedihan yang kau
airi sendiri dari peluh seluruh. sementara langit seperti tak henti membumikan
kepedihan. saat ayah tinggallah pelitamu, menggenang dukamu
saat langit memecahkan ringkih kelambu, dari tabah tubuhmu itu.
/V/
Zhang
Da,
adalah
pengejar pagi, saat syukur tak henti mengucap takzim kepada matahari yang
menjadikannya mimpi. Saat tabah mendekapkan sunyi yang lindap, pada waktu.
meski perih menyerpihkan lirih.
: pedih.
November 2011
*)Zhang Da adalah seorang anak kecil dari China yang
mendapat penghargaan dari negaranya, karena ketabahannya menjaga Ayahnya yang
menderita penyakit lumpuh. Sementara ibunya telah lebih dahulu meningggal
dunia.
orizuru pada daun yang gugur
/I/
ingin sekali sejenak aku larut di wajahmu. memandangmu lekat sampai senja yang ‘kan tiba menunggu.
ajaklah aku menggapai erat tanganmu, dibatas
senyummu yang berkata tentangku, juga tentangmu.
seperti cerita malam itu, yang hangat memeluk
mimpi-mimpi kita. usai, disikap purnama, menyisakan kisah yang berlembar di buku
harianku. aku mengisahkan tentangmu.
/II/
pada daun yang gugur, jatuh menjumpai. adalah hijau, oranye,dan
sebagian cokelat warnanya, menyibakkan kebahagiaan. aku ingin sekali berkata:
lalu, angin itu terbang
mengantarkanmu
mengetuk pintu bibirmu yang
rapat.
/III/
pagi ini, aku ingin menjumpai angin dan juga
daun-daun gugur. yang berserak sesak diatas tetumpuk tanah-tanah yang basah.
embun sudah mengukir pagi, setelah
datang matahari menjemput perbincangan kita
pagi itu. disini, ditempat ini:
perlahan daun-daun jatuh
berguguran.
melambaikan cerita
tentangmu.
disampingmu, aku mendekap tawa bahagiamu,
memotret wajahmu yang tersenyum, dan juga canda tawa yang berkisah keluh kesah.
ketika daun-daun gugur itu jatuh di hitam mayang rambutmu. aku mengambilakannya
untukmu:
lalu, kusemai daun gugur itu
tertulis namaku, juga
namamu.
/IV/
ada getaran sunyi saat itu, ketika belibis
beranjak pergi. menerbangkan sayapnya lepas, di udara yang kini bias. sambil
berlari kecil kupanggil namamu. disini:
dari kejauhan. sambil kudekap erat orizuru
yang kini ditanganku. yang juga pemberianmu. dulu sekali, ketika kita bersama membuatnya. kini,
kusimpan pada hidup yang mengisahkanku, juga tentangmu.
disini,aku berkata:
di lembah kisah,
kau menghela lelah diujung
desah nafasku.
dalam getir degup jantungku
menggetarkan segugu tanyaku
yang risau
mengeja kata di rona merah
wajahmu.
selamat jalan, orizuru. kenanganku kini
tersimpan di daun-daun gugur.
seperti pagi itu.
Bandung, 18-7-2011
aku
mencarimu dalam dimensi hujan
/I/
suatu ketika
dalam dimensi hujan
aku masih terhuyung, dalam alunan kabut sepi
itu.
mengantarkanku pada altar malam,
dan membukanya dengan sepucuk risau
serta kerinduan, yang kusimpan dibalik tanya.
/II/
ah,
seketika deras hujan
menyeretku jauh menepi.
yang terputus oleh detak waktu.
meniris.
teriris.
jiwaku.
pada dingin yang masih terasa,
semasih senja.
/III/
dalam lorong dimensi hujan,
yang jatuh dalam linangan airmata hati.
tak lagi dapat ku menemukanmu
di sela getir yang menggigil
dalam aroma tubuhmu yang tak lagi ada.
aku mencarimu,
terus dan terus,sampai kebuntuan mengakhiri.
dalam langkah sepi ini.
/IV/
di titik kerinduanku yang terpendam,
pada seucap tanya yang tak mampu lagi
kujawab.
ketika doa suci mengantarkanmu,
menuju keabadianNya.
/V/
dalam tertatih, aku menangis
sembari ku kais-kais, sisa taburan bunga
melati, dan kamboja.
yang berserak di lantai itu.
sepi.
aku sendiri
dengan tangis yang tak mampu kumengerti
/VI/
kini,
bersama sebongkah asa
yang kurajut bersama kepedihan
aku menatapmu.
dalam figura dan lilin yang kubawa malam ini.
yang mengantarkanmu,
di alam kebahagiaan.
dalam waktu yang meniris,
bengis.
/VII/
aku masih tak sanggup
menatap diorama cinta
yang kau beri waktu itu.
dalam rajutan kasih, berlembar cintamu.
yang kau beri lewat senyummu
: penuh arti
/VII/
lembaran kehidupan berlalu
seperti
hujan dan kabut dikala itu.
dalam dingin yang mengantarkanmu.
dalam kabut yang membawamu,
serta hening
yang menyelimuti
hati dan ketulusan jiwamu.
/IX/
aku mencarimu,
dalam dimensi hujan
ketika kepedihan,
hinggap di lorong keabadian.
disana,
kulihat bayanganmu.
seperti hujan di kala itu.
Bogor, Juni
2011
kata-kata
yang tidur
“apa kau pernah mengenal tidur dalam mimpimu”
seraya kata pada sebuah
buku di ujung lemari tak berpintu itu.
kata yang kita baca, pagi
ini. terlelap pada sebuah dinding sejarah nan berdebu. setelah kita alpa
mengingatnya lagi. setelah lelah kita berjibaku dengan buku, masa sekolah yang
lelah. sebuah ijazah, bertuliskan sebuah nama yang permata. alit, mencatatkan
nasibnya pada selembar hikayat hidup.
“aku ingin berbicara, tentang hidup”
ucap sebuah buku di rak-rak yang berserak di
setapak jalan lemari petak yang nampak retak. lalu debu, lalu waktu, mengecup
dari nafas-nafas panjang mimpinya.
“ceritakan padaku tentang hidup”
ujar sebuah majalah yang
tak terjamah di dekat jendela itu. tangan-tangan tak lagi mengusiknya ramah.
aku hanya terpekur, dan bermeditasi dengan angin dan kesepian yang hampa. untuk
sekian yang semakin jemu.
“hidup adalah pelaksanaan kata-kata”
begitu kata Rendra. Dan,
kita hanya berkata-kata pada sebuah kata yang tidur dari mimpi panjangnya.
“hidup adalah kesetiaan tentang makna dari
setiap kata”
hujan
di hari minggu
bersama fl
seperti jeda hujan yang tak juga tiada, terkadang ada
rintihan dingin yang datang begitu beku. mengerjap pada gelap. seperti dinding
yang berkaca pada setiap tangisnya, selepas deras hujan itu. bayangannya
membaur, lalu mengabur pada setiap teriaknya. ada setiap kata yang belum usai,
ada berkas tanganmu yang mengembun dari balik kaca itu, dan belum kuhapus dari
ingatanku.
“tapi waktu berlalu seperti debu,
yang kadangakal tenggelam
dari ingatan kita”
hujan kali ini datang begitu
tabah, seperti gelap yang terlelap dalam rebahnya. mungkin hanya sebuah
alkisah, penutup mimpi dalam tidurmu yang resah.
“titipkan hujan itu padaku, sebab
aku bisa membawanya, dengan tangan yang kupinjam
dari garis-tangan-waktu, yang
bersembunyi dalam kehampaannya”
karena ia akan menyimpannya.
hingga tiada.
—26
Februari 2012—
perahu kertas
saat
jauh adalah jarak yang membentang
seperti sauh perahu-perahu yang kadang bisa karam kapanpun juga. kenalkan aku
pada jarak yang melingkarimu itu, agar aku bisa meretasnya menjadi sebuah
mozaik yang menyusun perahu-perahu kertas itu dari lenganmu. aku ingin
membuatnya bersamamu.
lihat
sejenak, aku sedang disini. sedari dulu saat pertama aku mengenalmu jauh
seperti ini. aku hanya ingin membuatkanmu perahu kertas, seperti dulu ia –ayah—
membelikanku perahu mainan, diatas air yang berlayar dimatamu. memang hanya
perahu kertas, tapi ini kuciptakan untukmu.
2011
perempuan yang berbicara tentang kehidupan
ini gelas terakhir,
tegukan ketiga setelah garis-garis takdir
menepi-lalu menepiskan sebuah rahasia.
: pecah
diantara denting yang berdenyar
begitu samar.
garis tangannya
terlukis atas nama darah
yang dipahat
dari peri bermata perih.
direguknya gelas terakhir,
dengan mata sendu.
ia berkaca: inikah hidup?
mengapa berlalu begitu abu.
lalu menghilang
dalam bayanganku.
tegukan ketiga setelah garis-garis takdir
menepi-lalu menepiskan sebuah rahasia.
: pecah
diantara denting yang berdenyar
begitu samar.
garis tangannya
terlukis atas nama darah
yang dipahat
dari peri bermata perih.
direguknya gelas terakhir,
dengan mata sendu.
ia berkaca: inikah hidup?
mengapa berlalu begitu abu.
lalu menghilang
dalam bayanganku.
melukis
namamu pada sebait hujan
gelap tiba menyeka lengang
disapu lembayung murung.
disana, kau menitipkan teriak,
pada detik jam yang diam.
nyata kian nyala,
memendar matamu.
kuramu, rintihan sesak
di langit yang sembab.
sembilu, menujumu ke lekuk ceruk.
: pedih
adakah, datang sunyimu.
pada dengung gaung, yang kembara.
hanya kata, yang mampu mengubah
diam dari mimpinya
sebab hidup, tak selamanya ada dalam nyala.
adakalanya, redup yang memejamkan mata kita.
: di keabadian sana
juli, 2012
menuju
ramadhan
kusapu gelombang tenang,
mengalir syahdu ke wajahmu.
mendaras dzikir, di paras asmamu.
lalu,biarkan tubuhku mendesir,
di syair-syair paling nyinyir.
selaksa ribuan pasir, menemukan dirinya
: takdir
fatamorgana, dunia.
membikin ngilu, penuh seluruh.
: tubuhku
menjadi lingkaran dosa.
membakarku, membakarmu!
Tuhan,
di atas kesunyian yang purba, kurapalkan segala doa.
khusyuk, di suluk-suluk yang masyuk.
ampuni hamba, yang tiada daya.
mendoa, di atas sujud para syuhada.
bermuara, di surga para anbiya.
jejak
keabadian
kepada guru
lewat
matahari yang terbit dari rahim kata-kata. ia menjelma cahaya yang memancarkan
sebait doa pada pijar nanar matapagi. di telungkup jemari, mengalirkan riak
jingga airmata jiwa. memanjang namamu seperti gemericik embun pagi yang hadir
di tiap jeda surya yang menunggunya.
adalah
lembar sejarah, yang kaupahatkan pada elegi waktu: seperti ribuan abjad yang
kueja di baris mutiara kata. dilangkahmu, kau menghela dengan tabah. ketika kau
rebah diatas tangan-tangan waktu yang mendekap
:waktu seperti berucap
menyemaikan
senyap.
kesederhanaan
yang kau ajarkan, yang mengantarkanya menuju lautan kesabaran. selaksa seribu doa yang mengantarkanmu.
di
baktimu, ada segurat cahaya matahari
itu, yang perlahan beranjak pergi mengantarkannya menuju senja yang kau ukir
dengan kesederhanaan.
ia berlabuh pada ranting gerimis, jatuh di
atap-atap bumi.
melambaikan seucap kata perpisahan untukmu
:dengan
doa
kami
menyampaikan pesan kedamaian.
dalam jejak,
yang tak bisa pupus.
kesetiaan
kemudian tiba di sudut alunan waktu. membawa kenangmu.
abadi.
September, 2011
kepada angin yang mati tadi pagi
: oktober
hitam *)
seperih
mati
yang
kau sayat
dengan tangan waktu
yang
tak juga
binasa.
ia bersembunyi
pada kaca embun
yang mengalun
pada jeda
jendela
pagi.
lalu angin itu mati
pagi
tadi !
*) Oktober hitam
adalah salah satu sajak Taufiq Ismail dalam buku kumpulan puisi Tirani dan Benteng (1966).
o, negeri
inikah
negeri yang pukang? kukenang dulu.
kupinang,
dengan taburan sajak sendu.
juga
keterasingan waktu.
sementara
ombak setia,
berlayar
di atas samudera cinta yang fana.
o, cinta
adalagikah,
yang dapat menakarmu?
dengan
mahar paling senyap.
juga
kelepak sayap yang lindap,
di kukuh
hatimu. kubisikkan
kata
rindu, lewat sajak-sajakku padamu.
o, sajak
inilah
jawaban setiap kata,
yang
mampu dituliskan.
selaksa
sihir para penyair,
begitu
nyinyir.
siapakah
yang menjelma dirimu,
mengatakan
hujan dan rindu.
di sunyi
katamu.
Desember,2011
kepada - Mu
sesal menatap
bayanganku.
kuramu,
kepedihan yang menghujan.
di lubuk
jiwa.
dengan
mata nyalang,
kuterjang
gelombang kesangsian.
kepingan
puisi, menujahkan dirinya ilusi.
kuketuk,
dinding langit
agar
usai, segala duka yang sangsai.
di
atasnya.
menjadi
labirin, mahasunyi.
kuhampiri,
lelehan airmata perih.
menjadi
penuh, seluruh.
luka-lukaku
2011
beberapa #flashpoem
di langit
yang tak berpintu
aku
mengetuk suara hampa.
jadikan
aku kata
di
tubuhmu yang tak pernah ragu
teriakkan
aku sajak,
agar aku
bisa lelap di senyap puisimu.
lelaplah,
dalam tubuhku.
walau
perih, begitu lirih memelukmu.
aku bercerita,
dan kau
adalah jalan, yang melapangkan.
menuju
surga.
aku
menjadi hujan,
bawakanlah,
aku pintu menuju hatimu
yang tak
pernah sendu.
kau
radio,
jadilah
gelombang yang syahdu.
menemani
hidup dan matiku.
aku
bergetar, memelukmu.
teruslah aku,
dekap. sampai kau terlelap.
aku
tertidur, kata-kata tertidur.
tapi kau
tak pernah bisa lepas
dari mimpiku.
pejamkanlah,
matamu.
dan aku
mendekap senyummu,
dari
kejauhan.
aku kata,
dan kaulah cerita
yang
kutuliskan dalam kataku.
kita
begitu senyap,
dan larut
dalam harap.
aku
menjadi perigi di mata pagi,
dan kau
adalah kuali yang membentangkan jiwa,
di
lubukku.
adakah
yang lebih sunyi dari gelombang rindu,
sedang
aku memahatkan puisi,
pada
waktu.
aku
datang menuliskanmu,
tersenyumlah,
walau kita jauh dalam ketiadaan.
detak jam
tak selamanya diam,
hendaklah kau menuju detik di tubuhku.
di
jantungmu, segala rindu berdetak.
menjadi
nyala, di senyap jiwaku.
aku
datang, mengetuk pintu rumahmu.
kau,
membuka pintu, sepenuh rinduku.
tinta
yang habis kulukiskan,
tiba-tiba
aku teringat. itulah dirimu
yang tak
habis kulukiskan.
sebuah
pita, warna abu, biru, ataupun ungu.
tapi kau
berhak tahu,
kau
segalanya warna terbaik bagiku.
adakah yang lebih gemetar,
dari
perjumpaan sunyi yang paling puisi.
aku
adalah catatan, yang menuliskan
: antara kenangan, juga kepahitan.
ceritakanlah
padaku, tentang rahasia.
dan,
kita membukanya.
dengan
puisi masa lalu.
kau,
perempuan yang menangis.
berderailah,
airmatamu.
di
senyap penghujan, tubuhku berlinang.
bermuara,
pada waktu yang rahasia.
di
perjumpaan, kita menemukan keasingan.
di
jantungmu, segala nyala berdetak.
:
menjadi aku, menjadi nyalamu.
yang
datang tanpa sebuah nama,
yang
berlalu meninggalkan kenangan.
:
dari ketiadaan
kau,
adalah tanya dalam jawabku.
tapi,
aku tak pernah lupa.
sejak
kapan kau ada?
:
untukku.
bernyanyilah.
lagukan kesedihan
reguklah,
anggur kepedihanku.
:
di nadimu
segala
berawal, segalanya untuk ada.
segala
yang kukenal, segalanya hanya samar.
jika
kesederhanaan itu ada,
maka
ia tak akan berlalu untuk tiada.
Komentar
Posting Komentar