Hikayat
Perjalanan
: kepada alm. bapak
I.
Bogor
aku bayangkan, engkau begitu kesusahan mencari huruf dan
angka di telepon genggam yang tak sebanding dengan ukuran jarimu itu.
seringkali, engkau meminta ibu untuk mencari huruf-huruf yang entah mengapa
harus dibuat tiga berpasang mulai dari angka dua.
aku juga bayangkan, engkau begitu sibuk berbagi dengan
waktu yang berdetak di kepalamu. sekali satu jam, engkau selalu mengirimkan
pesan rindu ke telepon genggamku yang lebih memilih mematikan dirinya sendiri.
pernah suatu kali, aku bayangkan, engkau belajar
mengganti pesan rindu dengan kalimat-kalimat tanpa khutbah. belajar menangisi
rindu kita. mencatat dan menanamnya dalam-dalam di tempat pengajian malam yang
selalu engkau ceritakan.
pak, aku bayangkan, ada satu hari di mana aku akan
mengatakan: aku mencintaimu
II.
Jakarta
jalanan yang macet ini adalah aku. yang mencoba kembali
menutup mata. berharap, jalanan sepi, seperti tubuh suami ibuku yang lelap di
kedalaman makam.
kusandarkan kepala di bahu kiri perempuan yang rela
mencatat, bahkan memahat kehilanganku. kesedihanku. terlalu kecil jemariku
menggenggam rangkaian imaji yang hendak kupaksakan.
siang itu, kami ingin bersekutu dengan para dewa dan
malaikat. mendekatkan jarak, bogor – cengkareng, seperti suara ibu mengabarkan
kematian bapak lewat telepon genggam, pagi itu.
III.
Solo
di bandara itu, aku termenung. membayangkan perjumpaan
yang gagal. taxi yang kita bayar di atas meja, berjalan bagai siput. di sisa
perjalanan, kulihat sisa terik matahari di antara daun-daun.
airmataku berloncatan bagai anak kelinci di antara
patahan-patahan tanah dan rerumputan. aku menutup mata. menahan nafas.
berharap, jarak ini hanya selintas.
IV.
Ngawi
engkau menyambutku dengan mata berlinang. aku bergegas
memelukmu. memeluk kehilangan dan kesedihanmu. kulihat, matamu seperti kamboja yang berguguran di makam suamimu. bapakku.
tidak bisa melihatmu tersenyum, adalah satu hal yang
menyedihkan bagiku. kenangan itu, seperti kanak yang terus menghembus. terang.
sebentar, ijinkan aku berbaring di keluasan dadamu yang tenang.
V.
Bogor
mula-mula aku tak mengira, jika kehilangan begitu sunyi.
setiap pagi, aku umpamakan engkau embun di daun itu. satu per satu melompat ke
wajahku yang tak sadar menempel di hijau daun itu. lihat, betapa mereka lebih
lucu dari masa kanakku.
kusadari, kehilangan itu adalah lubang kelam. kita
terjebak di dalam, bagai berjuta-juta malam. lantas, apalagi yang pantas
dikenang? aku ingin memindahkan kehilanganmu di tubuhku.
TerasKecil,
2011
Di Lantai Sebuah Gereja
pagi
itu, aku gagal mengucapkan rapal
keningku
mengkerut seolah ingin mengahafal
mantramantra
penghilang nyeri pagi,
nyeri
sunyi, nyeri periperi, nyeri sepi
alangkah
sial, aku kembali mencium
mawar,
memeluk bahuku yang gatal
merapal
doa dan menerobos begitu saja
ke
dalam hening gereja tanpa penjaga
lalu,
dari lantai gereja ini
kembali
aku melihat bayangan
tubuhku
melayang. batangbatang
penyangga
gereja berhamburan
dari
kesunyian yang aku ciptakan
aku
tak tahu, apakah kegagalan ini
adalah
sebuah pengkhianatan tentang
lakilaki
penggembala bintangbintang?
aku
kembali menatap mata lakilaki itu
ia
seperti membisikkan sesuatu kepadaku,
“hening
tak pernah sendiri”
Bogor, 2011
tiba-tiba
saja, pagi muncul dari kedua bola matamu
seperti pagi sebelumnya, aku tak pernah bertanya,
kenapa? dan kau buru-buru menutup matamu, ah
di sanalah, di pagi di matamu, aku lekatkan dalam
dalam tanganku. satu per satu, pagi meluncur deras
dari sela - rapat - jari-jariku. kaupun diam
berhari-hari, aku mencari pagi-pagi yang hilang
dari matamu. entah mengapa, kau tak lagi
mencintainya. aku mengejarnya hingga ke lipatan
detak detik waktu. di kejauhan, dengan sekuat
tenaga, kau paksakan menutup matamu. dan
aku tahu, kau begitu kehilangan
seperti pagi sebelumnya, aku tak pernah bertanya,
kenapa? dan kau buru-buru menutup matamu, ah
di sanalah, di pagi di matamu, aku lekatkan dalam
dalam tanganku. satu per satu, pagi meluncur deras
dari sela - rapat - jari-jariku. kaupun diam
berhari-hari, aku mencari pagi-pagi yang hilang
dari matamu. entah mengapa, kau tak lagi
mencintainya. aku mengejarnya hingga ke lipatan
detak detik waktu. di kejauhan, dengan sekuat
tenaga, kau paksakan menutup matamu. dan
aku tahu, kau begitu kehilangan
Anak-anak Hujan
kemarin,
aku meletakkan anak-anak hujan di tubuh daun-daun. ia kelelahan. nafasnya
seperti diburu kematian. tangannya bersandar di ujung daun. matanya tajam
menatap mataku. tidurlah lelap. aku akan menjagamu, rayuku. matanya enggan
menutup. tangannya menjulur ke arah mataku. tidurlah di dekatku, katanya lirih.
sebutir anak hujan jatuh, tepat ketika aku mengendap, meninggalarikan ia. anak airmataku mengejarnya. dalam sekejap, aku melihat sebutir anak hujan membuka matanya. aku seolah mengenal mata itu. ia seperti sesuatu yang lama bertapa dalam mataku.
dari jauh, seperti ada yang memanggil,
sebutir anak hujan jatuh, tepat ketika aku mengendap, meninggalarikan ia. anak airmataku mengejarnya. dalam sekejap, aku melihat sebutir anak hujan membuka matanya. aku seolah mengenal mata itu. ia seperti sesuatu yang lama bertapa dalam mataku.
dari jauh, seperti ada yang memanggil,
anak-anak
hujan berloncatan, bergandengantangan.
Semangkuk Hujan, Setangkup Badan
banyak
sudah, hujan di matamu. hujan-hujan tua. setua kota-kota kita yang tercatat di
atas gugusan gemintang. mencatatnya sesuai skema kematian dan kelahiran kita
yang sempat tertunda.
kita
lupa mencatat anak-anak hujan yang gemetaran di matamu. seperti accordion sunyi menyanyikan bunyi sendiri. sementara.
satu-satunya harta kita yang tersisa adalah airmata.
di
kedinginan hujanmu yang sederhana. kusisakan semangkuk hujan untukmu. untuk
kita nikmati bersama sepi yang jatuh basah. di sanalah. di saat sepi turun
rintih-rintih. kita saling mengatupkan tubuh.
di remang-remang hujan. tergaris baris-baris hujan.
tergurat hujat hujan. dan kita. merapat dekat kaca jendela. menempel gambar
hujan
Afasia
aku
ingin belajar menjadi lantai rumah. menyimpan sejuk jejak langkah. di antara
pijakan, satu, dua, tiga, aku belajar menghafal rapal doa dan mantra. sebentar.
dengarlah, betapa banyak yang harus kuingat
di setiap jejak langkah, ada tangan yang lupa kaulambaikan
di setiap jejak langkah, ada tangan yang lupa kaulambaikan
Apion
lihatlah fianni, bagaimana angin memetik
daun-daun kering, kemudian, perlahan-lahan, meletakkannya di atas rumput
berembun. siapkan selembar kertas, gambarlah sesuka hati gurat-gurat menyerupai
kulit wajah perempuan tuadi kota tua dan letakkan nama-nama di setiap kerutnya.
Lalu, mulailah mengeja satu per satu. namamu dan namaku.
dengarlah fianni, angin yang
mendengar percakapan kita ingin sekali menjelma cahaya. ya, seperti kita.
pernahkah kau berfikir, angin lelah menghembuskan dirinya sendiri? ataukah,
angin yang memetik daun-daun itu berfikir ingin membeku saja?
fianni, kaukah perempuan penjaga angin itu?
Segenggam Pagi
segenggam
pagi tiba-tiba datang ke arahku. nyaris tanpa suara. aku pura-pura tertidur.
kulihat, ia duduk rapat di sampingku. sungguh, wajahnya diselimuti kesedihan. jari-jarinya
gemetaran menjala kristal-kristal airmata. nafasnya berkejaran dengan udara.
bulunya kemilau-kilau. entah di bagian mana, ia menyimpan kebahagiaan dalam
tubuhku.
berkali-kali, ia mencoba membuka mataku. tapi sia-sia. kepura-puraanku menjelma kematian. berkali-kali, ia terbang dan menggantung di ranting-ranting mataku. ia memaksa masuk. berkali-kali pula, ia menyelam di kedalaman malam-malam.
kini, segenggam pagi sendiri. mencari kebahagian, jauh di dalam tubuhku.
berkali-kali, ia mencoba membuka mataku. tapi sia-sia. kepura-puraanku menjelma kematian. berkali-kali, ia terbang dan menggantung di ranting-ranting mataku. ia memaksa masuk. berkali-kali pula, ia menyelam di kedalaman malam-malam.
kini, segenggam pagi sendiri. mencari kebahagian, jauh di dalam tubuhku.
Sebutir
airmata tua turun
perlahan
lahan
dari kolam matamu
ketika angin meniupnya, ia gemetaran,
seperti sebuah yang lampau
- ia erat memelukmu
perlahan
lahan
dari kolam matamu
ketika angin meniupnya, ia gemetaran,
seperti sebuah yang lampau
- ia erat memelukmu
Ingin Kusentuh Airmatamu
pada angin sebelah mana kau sembunyikan sebutir airmatamu yang gemetaran?
di hening hujan, malam itu, kau memintaku menangkap butir-butir hujan. aku menolak. katamu, butiran hujan itu tajam dan dingin, ayolah. dan aku tetap menolak. lantas, aku mencoba menerjemahkan butiran-butiran hujan yang berloncatan dari rambutmu. bersama butiran-butiran hujan dan ribuan angin, aku merayapi, meringkuki daun-daun. tubuhmu menggigil. airmatamu gemetaran. setelah hujan, semua seperti berlepasan dari ranting-ranting matamu.
pada angin sebelah mana kau sembunyikan sebutir airmatamu yang gemetaran?
di hening hujan, malam itu, kau memintaku menangkap butir-butir hujan. aku menolak. katamu, butiran hujan itu tajam dan dingin, ayolah. dan aku tetap menolak. lantas, aku mencoba menerjemahkan butiran-butiran hujan yang berloncatan dari rambutmu. bersama butiran-butiran hujan dan ribuan angin, aku merayapi, meringkuki daun-daun. tubuhmu menggigil. airmatamu gemetaran. setelah hujan, semua seperti berlepasan dari ranting-ranting matamu.
Biodata
Dony P. Herwanto, Ngawi 24 April 1983. Sejumlah puisinya
pernah dimuat di Kompas.com, Jurnal Nasional, Jambi Independent, Majalah
Sagang, Majalah Hysteria, Radar Tasikmalaya, Bali Post, Pabelan Pos, Solo Pos,
LPM Psyche, Ibn Sina, fordisastra.com. Juga masuk dalam sejumlah Antologi Puisi
Borgol #1 (2004), Antologi Borgol #2 (2005), Antologi Puisi 9 Penyair Jawa
Tengah (Diterbitkan Taman Budaya Surakarta, 2007), Jurnal Sastra Komunitas
Menulis Bogor (2009), Antologi Puisi Majelis Sastra Bandung (2010), Antologi
Puisi Berjalan ke Utara (mengenang Wan Anwar), Antologi Puisi Gempa Padang
(APSAS, 2010), Antologi Puisi Penyair Angkatan Kosongkosong. Pernah ikut Tarung
Penyair Panggung se-Asia Tenggara 2011 (Tanjungpinang). Antologi Puisi Majalah
Hysteria (2011). Kini bekerja sebagai wartawan di Bogor.
Komentar
Posting Komentar