Bersama udara yang terus ke tenggara Aku melaju, bersama waktu ~1~ Bayanganku berpendar pagi ini. Embun mengerlip bergegas dari tidurnya. Mungkin juga kamu di sana – di mana pun adanya – merasakan hal yang sama. Kota ini, lambat laun membuat kita larut, dalam coffelatte . Segelas kehangatan, bermuara ke setiap ingatan. Coffelatte mengepul, mengudara bersama rasa. Bayanganmu memudar di antara ramuan kopi pagi ini. Coffelatte. Begitu tenang, kuhirup lamat-amat, lalu pelan mengalir ke lambungku. Pagi yang teramat perih untuk kita lalui hanya dengan sebuah kopi. ~2~ Udara dingin itu terus mengepungku. Ke segenap cuaca yang maha sunyi itu, aku menemukan keterasingan waktu yang tetap setia untuk bertahan. Mungkin, hanya mungkin yang dapat mengatakan itu : tentangmu. Suatu saat yang tepat, aku hanya ingin kita akan bertemu lagi disini, menikmati Coffelatte . Lagi, dan lagi. ~3~ “Kita kehilangan jejak” seraya hujan yang deras itu kepada Coffelatte. “Benarkah?” ...
We write to taste life twice, in the moment and in retrospect. —Anaïs Nin