Ceritamu terlalu pahit untuk kita kenang bersama sebuah angan yang tak akan pernah kumengerti. Baru saja, aku meliahatmu bersamanya. Mungkin kita sama-sama terlahir sebagai manusia yang tak saling mengerti dan memahami. Dari sini, dibalik jendela yang menjadi saksi kepergianmu. Mungkin? Itu adalah sahabat yang dekat. Sedekat senyum yang selalu ada disaat pagi yang hening. Bening. Seperti mata air hujan yang jatuh saat November menangisi kepedihannya. Ingatkah? Tentang cerita semalam? Saat aku mencoba mendekapmu? Tapi tak ada. Dan tiada pernah untuk bisa. Karena aku. Menyayangimu. Dengan sederhana, sesederhana malam yang hadir bersama purnama-purnama. Kehidupan adalah ribuan kebencian yang harus kita kremasi sendiri, dengan abjad-abjad yang kita eja dengan tertatih. Seperih mati yang hampir memugar malam beku yang perlahan menikamku. Aku temukan kekosongan, saat tepat jarum jam menghilangkan ingatannya. Ada kebencian yang menutupi tiap lembaran tidur. Tak bisa lelap. Tak bisa me...
We write to taste life twice, in the moment and in retrospect. —Anaïs Nin