(I)
Kita datang untuk mengakrabi sebuah puisi. Hanya sunyi,
terkadang hanya menjadi rima di akhir jeda percakapan kita. Aku menjadi sebuah
buku, dan kau adalah kata-kata yang tak sempat habis kuselesaikan dalam sebuah
cerita. Tak juga rampung, hanya menjadikan kita bertemu dan berpaling pada satu
nama. Aku dan kamu.
(sedang aku hanya bisa menyimpan sebuah tanya, dengan gumam
yang kutafsirkan pada dinding-dinding cerita. dan, kau selalu datang di sepi
itu : melukiskan dengan tanganmu, tentang orang-orang yang sempat singgah dalam
mimpimu, semalam. kau lukis itu,
perlahan. dengan mata yang terpejam).
(II)
Sebuah buku, hanya bisa berbaring dari tidurnya, menutup
mata rahasia demi rahasia yang amat permata. Barangkali, kita adalah penuai
mimpi—yang mengejar— dengan tangan mimpi paling nisbi. Percakapan, lebih hanya
menyisakan sebuah nama yang kita tulis pada layar telepon genggam. Dua hari
yang lalu, setelah kita larut menjelma sebuah puisi.
(sebuah lampion, orang-orang yang sempat singgah dalam mimpi
di tidurmu, tentang rumus-rumus terlukis di dinding itu, menceritakan
kata-kata. menceritakan sebuah nama. tentang hidup, dan juga kita).
Bogor, 1 Mei 2012
Syahrizal Sidik
soswiiit, jago kali dek kau ini merayu orang. hahaha :D
BalasHapuskeep writing dek.
hehehe masa sih? gawaaaaaat #ups
BalasHapus