aku merasakan pagi ini angin
mengejarku tak ramah. dengan langkah cemas, ia menerabas beringas jalan-jalan
yang semakin panas, sebab hari semakin siang terik yang tak terelakkan. pagi,
mungkin yang tak teramat biasa untuk hari yang menunjuk pada sebuah kalender
tua di angka 17 mei. kemudian waktu bergegas mengajakku ke sebuah jalan raya
diatasnya. derum dentam knalpot berkejaran juga dengan deru angin. sirine
kendaraan yang berbaris, seperti upacara-upacara drupadi yang sakral lengkap
juga dengan sebuah doa penutupnya : pagi itu.
pada mulanya, aku tak mengenal
arah mata angin pagi, sebab hanya dengan matahari dan pagi aku hanya bisa
melihatnya diatas terang jalan ini. sepanjang usia, sepanjang namaku berkiblat
dan berpahat pada jantung kata kaca kata kata.
di tikungan keduabelas, ia naas.
lampu merah, seperti berkhianat dan bertengkar dengan nasibnya sendiri.
sementara, di seberang kulihat polisi-polisi dengan mata tajam, sepuluh lebih
ia berdiri mematung di tepi jalan raya itu. berseragam, manis –menyapaku ramah—
dengan penuh basa basi. ia memintaku memarkirkan kendaraan, di pinggir jalan
raya itu : ternyata orang-orang sama, dengan wajah-wajah yang tak kukenal
namanya menghadapi persoalan yang sama. kami ditilang.
seseorang datang. memintaku
menunjukkan sim dan stnk, tapi sial, aku belum memiliki untuk benda yang satu
ini, sim. krusial. polisi itu kian beringas, berkuasa diatas kertas tilangnya,
dengan pena yang siap menuliskan namaku : di kertas itu. adik belum punya sim,
sementara di peraturannya setiap pengendara harus mempunyai sim. adik saya
tilang saja ya, ini sudah punya ktp, seharusnya sudah bisa membuat sim.
“pak damai saja”
“mas punyanya berapa?”
“dua puluh pak”
“ya sudah sini-sini”
aku melihat, hukum yang tak tegak. seperti
ikan yang dijual dipasaran. begitu mudah diperjualbelikan. aku bertanya, pada
kertas-kertas tilang. pada seragam-seragam. pada pengadilan-pengadilan yang
hampa suara, pada derap langkah sepatu-sepatu, pada tiap teriak manis penuh
kepalsuan yang menyapa pengendara. pada
tiap yang terselip di saku-saku baju, yang berkaca dan berkata : inilah hukum.
yang dibayar pada setiap lembar rupiah di tangan kita. sungguh, tak lain hanya
perbuatan yang tidak lebih cerdas dan mendidik. pada setiap kesaksian hidup
yang berkaca pada setiap lampu merah. pada wajah-wajah cemas yang tak kukenal
namanya berbicara tentang hidup yan semakin pahit. sementara, ketidakadilan
hanya menjadi slogan-slogan hampa. aku melaju, pada kesaksian hidup diatas
jalan raya yang berlalu begitu haru.
*Sepanjang Padjajaran, 17 Mei 2012 21.10 AM
Komentar
Posting Komentar