Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2012

Letters to A Young Poet : Letter One

Letter One Paris, February 17, 1903   Dear Sir ,         Your letter arrived just a few days ago. I want to thank you for the great confidence you have placed in me. That is all I can do. I cannot discuss your verses; for any attempt at criticism would be foreign to me. Nothing touches a work of art so little as words of criticism: they always result in more or less fortunate misunderstandings. Things aren’t all so tangible and sayable as people would usually have us believe; most experiences are unsayable, they happen in a spacethat no word has ever entered, and more unsayable than all other things are works of art, those mysterious existences, whose life endures beside our own small, transitory life.     With this note as a preface, may I just tell you that your verses have no style of their own, although they do have silent and hidden beginnings of something personal. I feel this most clearly in the last poem, “My Soul.” ...

MGMP Ajak Siswa Cintai Sastra

Ada yang berbeda dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran atau lebih dikenal MGMP Bahasa Indonesia Kota Bogor kali ini. Tidak seperti biasanya, untuk MGMP kali ini   menggelar Dialog Sastra dan Musikalisasi Puisi, yang mengundang Sastrawan dan Dramawan Iman Soleh sebagai narasumber sekaligus trainer kepada seluruh peserta Dialog Sastra yang terdiri dari guru-guru Bahasa Indonesia SMP  dan SMA se Kota Bogor. Acara ini juga   menjadi wahana untuk merepresentasikan kegiatan pembelajaran Bahasa dan Sastra di tiap-tiap sekolah dan mengapresiasi khususnya mengenai Sastra dan Musikalisasi Puisi, juga sebagai rehat bagi para guru selepas Ujian Nasional beberapa waktu lalu. Acara   yang dilaksanakan di Aula MAN 2 Kota Bogor pada Senin (14/5) dibuka secara resmi oleh pihak madrasah yang diwakili oleh Waka Bidang Akademik, Eman Supriyatman dan juga Ketua MGMP Bahasa Indonesia, serta perwakilan dari Dinas Pendidikan Kota Bogor. Iman Soleh, Sastrawan sekaligus Dramawan yang akra...

hikayat hujan

Hikayat hujan Syahrizal Sidik hujan menciptakanku dari sebuah mata mata yang tak mengenal tangis, puing, juga luka. hujan menjumpai sepatuku mengetuk-ngetuk jejak langkah itu. hujan mengaliri hening, menderas : rebah di atas pucuk cemara (hujan yang cemas, menggigirkan tangannya. yang mendekap pada setiap senyap. berlalu  dalam derainya) tiba-tiba hujan menemukan tangisnya sendiri pada isak yang digelar dari nanar matanya. luka, hanya turun menjadi kata. pada sebuah puisi sore ini. dan, hujan itu menjelma sihir para penyair. yang menggetarkan dan menyulapnya —pada hidup dan kesepian 21 mei 2012, rabu Saat jarum jam, menunjukku pada angka 16:38 —disebelas ipa tiga

17 Mei di sebuah pagi

   aku merasakan pagi ini angin mengejarku       tak ramah. dengan langkah cemas, ia menerabas beringas jalan-jalan yang semakin panas, sebab hari semakin siang terik yang tak terelakkan. pagi, mungkin yang tak teramat biasa untuk hari yang menunjuk pada sebuah kalender tua di angka 17 mei. kemudian waktu bergegas mengajakku ke sebuah jalan raya diatasnya. derum dentam knalpot berkejaran juga dengan deru angin. sirine kendaraan yang berbaris, seperti upacara-upacara drupadi yang sakral lengkap juga dengan sebuah doa penutupnya : pagi itu.    pada mulanya, aku tak mengenal arah mata angin pagi, sebab hanya dengan matahari dan pagi aku hanya bisa melihatnya diatas terang jalan ini. sepanjang usia, sepanjang namaku berkiblat dan berpahat pada jantung kata kaca kata kata. di tikungan keduabelas, ia naas. lampu merah, seperti berkhianat dan bertengkar dengan nasibnya sendiri. sementara, di seberang kulihat polisi-polisi dengan mata tajam, sepuluh le...

ke kotamu sampai juga deru angin

/1/ ke kotamu : sampai juga deru angin tak juga berhenti. menasabkan nasib yang tak juga bisa untuk binasa. kau ditepi itu, mengalungkan pita permata pada sebuah perpisahan mahasunyi. yang bergedup dalam redup senja, di mata kita. (kita berlari, hanya jantung angin yang pekat, menghalangi sebuah pertemuan dengan pertautan. kita bertanya, pada dinding-dinding yang berbicara dengan nasibnya.) /2/ ke kotamu : sampai juga deru angin memahatkan nama, tapi angin berbisik, berselasar di ceruk matamu. seperti kala itu, kita bertemu, pada sebuah dimensi labirin sunyi. (kau seperti berteriak, tapi dinding-dinding langit jatuh dimatamu. menggapai, tapi tak juga sampai. di palung laut, kita menenggelamkan tubuh kita, dengan sunyi, mengembara dalam tiap detaknya) : ke kotamu, sampai juga deru angin. 11052012 16:18 PM

kita bertemu, waktu itu

(1) aku, lupa menisbatkan rindu pada nanar matamu. mata yang tak mengenal pilu, dengan senyum paling manis, memuja kita dalam canda. ceritakan, dan katakan --tentang yang kau ingin-- sepanjang usia yang mempertemukan kita, dalam kata. disini : dalam sebaris penutup sakral doaku. sedang, kau menjelma sebuah isyarat, menjamah begitu tabah, dengan rindu penuh. (senja ini, waktu menghitung kita dari belakang. dan kita berlalu, bersama doa yang kita ukir, diatas sajadah cinta). 7 Mei 2012 Syahrizal Sidik

Cerita tentang Kata

(I) Kita datang untuk mengakrabi sebuah puisi. Hanya sunyi, terkadang hanya menjadi rima di akhir jeda percakapan kita. Aku menjadi sebuah buku, dan kau adalah kata-kata yang tak sempat habis kuselesaikan dalam sebuah cerita. Tak juga rampung, hanya menjadikan kita bertemu dan berpaling pada satu nama. Aku dan kamu . (sedang aku hanya bisa menyimpan sebuah tanya, dengan gumam yang kutafsirkan pada dinding-dinding cerita. dan, kau selalu datang di sepi itu : melukiskan dengan tanganmu, tentang orang-orang yang sempat singgah dalam mimpimu, semalam. kau  lukis itu, perlahan. dengan mata yang terpejam). (II)  Sebuah buku, hanya bisa berbaring dari tidurnya, menutup mata rahasia demi rahasia yang amat permata. Barangkali, kita adalah penuai mimpi—yang mengejar— dengan tangan mimpi paling nisbi. Percakapan, lebih hanya menyisakan sebuah nama yang kita tulis pada layar telepon genggam. Dua hari yang lalu, setelah kita larut menjelma sebuah puisi. (sebuah lampion, o...