Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2011

Surat untuk Pacarku

  :My beloved Firsa  Terkadang lenganmu selalu menjulur diujung jendela itu. terbuka diantara rimbun dahan gerimis yang mengiris. dingin meniba di lenganmu yang tirus, dengan kaca-kacanya yang terkadang lebih beku dari dingin yang mengerlip di saku lenganmu.  Aku tahu, terkadang waktu memang memisahkan –sengaja memisahkan untuk kita. senja itu telah lama kembali di matamu. aku melihatnya, sekejap setelah senyap harapku yang lindap di kukuh-kukuh hatimu yang kerap terkunci.  Mungkin, kita pernah lupa dengan kenang yang menggenang di airmata wajahmu. ada dingin menjumpai semata tubuhku, yang beku dihujani mimpi-mimpi itu.  Saat tiba senja, aku hanya ingin di dekatmu, di ujung mataku yang berkaca-kaca untuk sekadar mengenangmu. hanya itu. dengan kedua lenganku yang menyambut tabah tubuhmu. Kita mungkin berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta.                ...

Aku ingin Merantau

    Apa yang kurasakan dengan hidup yang selalu kaku. Tak lebih hanya perjumpaan pagi demi pagi berlalu hampa. Tanpa suara-suara yang datang dengan langkah kepastian. Kita hanya duduk menyelami danau waktu yang mengaliri petak-petak lahan hidup yang semakin sempit. Adakala terjepit dengan persoalan yang harus dihadapi. Menyendiri. Itulah cara terbaik untukku –mengenang—masa itu untuk tidak terulang kembali. Malam selalu datang sekadar menemuiku untuk menyapa. Tak berarti apa-apa di hidupku yang dihiasi abu. Juga ada seberkas sesal yang kurasa. Sepertinya. “ Hari ini adalah peristiwa, ketika lelehan sejarah membatu ”    Begitulah kata Soe Hok Gie. Aku selalu iri dengan kisah-kisah pengembaraan yang penuh lika-liku dan tantangan. Tidak hanya itu ia –mereka—juga banyak memberikan pelajaran berharga tentang kehidupan. Bagaimana kita menciptakan dan membuat mimpi yang begitu sulit untuk kita terjemahkan sendiri? Ia menjawab dengan harapan yang terkadang kita tid...

Kita yang Selalu Menemukan Kata-Kata itu Kembali

   Angin selalu saja datang mengitari musim yang melingkar di tanganku. Mungkin hampa, seperti tanpa suara. Telah lama kita mengucap sebuah petuah dari pintu ke pintu yang rapat. Ada bayangan tubuhmu yang menuggu ditiap akhir waktu itu. Beku. Dan aku tak pernah tahu, sejak kapan beku itu terus saja membayang dan diciptakan pada kata-kata yang selalu berbicara. Aku berkisah tentang rindu yang menerpa dari kerlip jendela yang menggigirkan semu. Lebih tak kutahu lagi, apa yang mencipta bayang-bayang itu yang membuat kita bertemu ditiap kata yang mempertemukan kita disini.    Kita hampir saja mati, lebih keras dan sakit. Saat kata yang kita tinggalkan membenam didasar kalbu yang selalu karam, sunyi memecah gelombang saat sirna beberapa purnama. Menghunuskan kebencian yang kerap terkunci, membenci dan menyakiti. Aku telah lama tenggelam menisbatkan namamu, untuk kutatap dari langit biru yang tercipta dari lembaran hari ku yang terkadang abu. Hari memang tak selalu b...

Kita Bertemu di Awal Perjumpaan Sajak

      Mengenangmu adalah serupa kumpulan butir rindu yang menggenang di tiap jeda pagi yang membening. Seperti mata air yang selalu mempersaksikan antara aku dan dirimu di awal perjumpaan yang selalu akan kita kenang. Di perjumpaan, kita seperti kembali menyelami benua baru yang biru –seperti abu yang dulu kita ciptakan dari perahu-perahu kertas yang terkadang karam saat kau mengusik –sedikit menyentuhnya—saat kita terlelap dalam perahu-perahu, yang dibelikan ayah semasa kecil dulu. Kita selalu termenung –menunggu senja—itu datang. Sedang aku tengah menciptakan kolam kecil untuk sama-sama kita layarkan perahu. Kau selalu tersenyum, terkadang tertawa saat perahuku lebih dulu karam di dasar kolam. Yang didalamnya telah tersimpan ratusan bahkan lebih perahu-perahu yang kita ciptakan dulu, jauh sekali sebelum datang seperti senja yang mempersaksikan kita kini.     Kita telah lama jauh, meninggalkan ribuan abad yang telah lama berlalu seperti kata-kata itu...

Perahu Kehidupan

           : para pemeluk mimpi mungkin kita masih bertemu di awal perjumpaan yang teramat sulit untuk dilupakan. merenungi fajar yang terbit dengan beberapa doa yang kita semaikan pada sebuah pagi. ada saat-saat yang larut. dan kita hanyut dalam perjamuan mimpi. malam itu kita masih menakwilkan beberapa lembar ilmu, yang kita petik dari buku-buku. masa ini telah mengantarkan perahu-perahu menuju muara yang kita tulis dari beberapa lembar aksara untuk kita goreskan perlahan pada lembaran baru dan mengantarkan perahu-perahu ( meski jeda merenda perlahan, dari tiap langkah yang menyemaikan kedamaian) perlahan perahu berlalu pergi menuju lautan. yang kita namakan kehidupan.

Mungkin Inikah yang Kita Namakan Cinta

Mungkin inikah sebuah jejak yang kita namakan cinta? Terkadang cinta hanyalah kemunafikan yang harus ditup-tutupi oleh keindahan semu. Hanya bayangan. Tak lebih fragmentasi hidup yang terpecah dari  ingar bingar kehidupan yang hampa suara. Desau seperti gebalau yang kacau. Memupuri lekat mata mata kita yang haus akan waktu. Serenade usang semakin ditinggalkan nafas zaman yang semakin pahit, sepahit waktu yang tak akan pernah kembali memutarkan melodrama yang porak-poranda. Hari ini aku bersamanya. Memandangi hidup yang terkadang beku, lebih kerap buntu.Apakah hakikat cinta lebih tinggi dari segalanya? Lebih dari beribu upaya yang harus kita korbankan demi perjamuan semu yang hampa dan tak akan pernah kembali. Semua hanya bayangan. Sirna. Disaat perlahan mata angin malam mulai menutup pintunya rapat-rapat. Dan tak akan pernah bisa, untuk kita bukakan. Malam ini aku tak bisa melukis wajah langit, setelah sembab hujan yang mengatarkannya pergi. Bermuara pada malam yang mulai s...

Isyarat Kata dalam Abu Kematian

  /I/ INILAH jalan yang mungkin menyimpan ribuan jejak dari beberapa depa kita melangkahkan arah demi sebuah petuah yang datang seperti para peziarah untuk menjemput nyawaku yang agung. kau membawa bangkai abu yang mengemasi kepedihan, untuk kita saksikan dimalam  yang mempertemukan ruap derap yang paling senyap. aku menjelma harapan yang terkadang lebih buntu ditiap-tiap lengkung telikung. /II/ DI bangkai abu ada ratusan sajak yang meneriakkan kepedihan dari bilur-bilur kepingan luka. aku berlari mencakar cekak leher yang dari tadi mencekikku. kaku. dan mulai menepikan beberapa kata untuk melepaskan beberapa doa yang membelit jeruji nadi yang kerap terkunci. teriakan yang melepasi dinding abu jenazah, yang perlahan pergi menuju lautan. /III/ SEBENTAR lagi kita akan menyaksikan parade kematian. berbaris dengan wajah sakral. dengan taburan abu membungkus kafan hitam. ada tangan-tangan hanyut putus. melambaikan isyarat kepergian. meninggalkan kata-kata itu pergi,...