Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2012

Blur

Image taken from facepunch.com "Di titik terjauh, kau selalu menjelma bayang-bayang yang redup lalu terang.   Tiba-tiba muncul, dan lekas menghilang. Bayanganmu itu, selalu membekas di retinaku." 23. 00 WIB di tempatmu Malam memuram. Gurat wajahmu masih menyimpan sejuta tanda tanya. Setiap malam adalah keterasingan.   Di sini. Ingin kuteriakkan padamu tentang keraguan itu. Kau menyimpannya, di setiap bangun dan lelap harapanmu, di situlah aku ada. Saat sedu sedan, selalu berjalan berdampingan. Kamu di mana? 24.00 WIB di tempatmu Blur. Kita menyeka jendela kaca itu rapat-rapat. Gerak tanganmu mungkin masih seperti dulu. Pelan, mataku mengabur. Minus ini semakin meredupkanku. Entah. Mungkin untuk ke sekian kalinya, bayang-bayang itu. Selalu menemuiku. Di titik terjauh, kau selalu menjelma bayang-bayang yang redup lalu terang.   Tiba-tiba muncul, dan lekas menghilang. Bayanganmu itu, selalu membekas di retinaku. Di titik terdekat, aku menemukan sega...

Berseni dari Hati : Catatan pementasan

 Photograph by Syahrizal Sidik Dwiyoso, menampilkan pementasan teater yang diadaptasi dari cerpen Kurma Kiai Karnawi karya cerpenis Agus Noor, Sabtu (16/12) di Auditorium FKIP Universitas Pakuan Bogor. Kiai Karnawi, yang dipanggil seorang tetangga, muncul. Beliau menatap penuh kelembutan pada orang yang tergeletak di kasur itu. Kesunyian yang mencemaskan membuat udara dalam kamar yang sudah pengap dan berbau amis terasa semakin berat. Beberapa orang yang tak tahan segera beranjak keluar dengan menahan mual. Kiai Karnawi mengeluarkan sebutir kurma, dan menyuapkan ke mulut orang itu. Para saksi mata menceritakan: sesaat setelah kurma tertelan, tubuh orang itu terguncang hebat, seperti dikejutkan oleh badai listrik. Lalu cairan hitam kental meleleh dari mulutnya, berbau busuk, penuh belatung dan lintah. Dari bawah tubuhnya merembes serupa kencing kuning pekat, seolah bercampur nanah. Seekor ular keluar dari duburnya, dan—astagfirullah—puluhan paku berkarat menyembul dari...

Diorama Diam

Image from Tumblr Di antara riuh itu kita mengeja burung-burung gereja selepas senja melepas ke udara Kita memetiknya; di gugur daun itu “Kita tak harus mengharap suatu apa,” desah cemas itu “Teruslah tegak, ke langit bijak,” seraya gugur daun-daun itu. Di luar, genap langkahmu gemetar.   Dan terus gemetar. Kita genap menghitung cuaca. Sepersekian detik setelah diam itu runtuh di udara. Separuh ragamu ada, separuh rasamu nyata, di serambi hati yang tak pernah terbagi. Di setiap selasar yang selalu kita buka dengan penuh debar. Masa itu. Mengenang hujan. Lingkaran-lingkaran gerimis di luar sana adalah airmataku yang menghapus wajahmu. Gugur, kita berpisah di tiap langkah yang membuat kita jadi lengah. Kita pun jengah, menghitung satu- dua napas kita yang tersisa, dengan terperangah. Mengenang gugur. Daun-daun yang kita sematkan pada bumi adalah gravitasi. Tempat di mana dirimu akan terpedaya oleh kekekalan pasti. Dia akan jatuh, tepat menjemput tanah....

Celotehan-celotehan untuk Negeriku (Sebuah Autokritik)

Image taken from Tumblr. oleh : Syahrizal Sidik Beberapa hal yang terkadang membuat kita pengang, di zaman yang serba banal. Kutuliskan, catatan kegelisahan ini... #Politik Hampir setiap hari, kita kerap menyaksikan di layar kaca tentang ketidak adilan di sekitar kita. Kasus-kasus suap, korupsi, skandal, perilaku amoral merangkak pelan-pelan dari para elit politik di negeri ini. Pelan-pelan, menggerogoti   para pejabat pusat, lalu ke daerah, ke kota-kota, ke kabupaten-kabupaten, ke kecamatan-kecamatan, ke kelurahan-kelurahan, ke desa-desa. Semuanya semu, dibutakan halusinasi politik bernama kekuasaan dan uang. Entah. Di sebatas maya pandangku kini, kian hari kita merasa tinggal di negeri yang penuh gejolak, di warga Negaranya yang – dulu katanya – penganut plurasime, menjunjung tinggi toleransi. Kembalikan Indonesia Padaku! Begitulah penyair Taufiq Ismail dalam satu sajaknya. Kapan kita akan menemukan kebebasan demokrasi ini bukan hanya terjadi di layar-la...

Catatan Kecil Kata-kata

Yang Mencatatkanmu Itu s ebuah kalender tua di jendela, mungkin lupa menanggalkan dirinya pada bulan desember, juli, ataupun agustus. dia hanya mengingat bulan juni. entah mengapa. ia melirik, pada deru angin yang sama. seperi cerita masa-masa lampau. kalender pucat yang menjadi pengingat, tentang lingkaran-lingkaran angka itu, ada namamu yang tertulis di situ, bukan? tapi aku lupa, sebab hanya juni yang paling sunyi, yang mencatatkan sepanjang usia kita. Juni, 2012 Menemukan Pagi sambil kubenamkan mata pagi di kedalaman jantungmu. dengan matahari yang muncul dari lubuk jiwaku, kupendar kebeningan surya di ceruk hatimu, agar kita selalu tahu, bahwa pagi akan datang saat pagi tepat memeluk kita. kukayuhkan, jejak langkahmu yang membayang di matahari itu. kita mengejar dengan tatapan mata paling pagi. menunggu, ketika datang sunyi   : bersamamu   Juli, 2012 Catatan Kecil Kata-kata ke tubuh paling puisi : aku. menjadi kata-katamu, juga. kita yang terhempa...

Di Antara Riuh yang Jauh

I daun jatuh. gugur sudah kita lesap di tahun-tahun penuh gaduh. suara-suara yang kudengar, dari jerit hujan. ada pedih, ada perih. semua berliku di lekuk jalan yang selalu remah oleh gundah. cuaca yang kita tidak kenal, berbicara dengan samar suara hujan di luar sana. di radio, menggelombang tenang. lagu-lagu perpisahan. di udara, angin selalu berkata " Bagaimana kabar dirimu ?"  II selepas dingin yang maghrib itu. kita menitipkan kegelisahan pada perpisahan sunyi. daun itu jatuh menujumu. menjemput segala palung pilu yang berpulang di jantungmu.  dengarkan degup ini, di antara Musi yang melengang jauh, tanpa jalan pulang. di luar sana, langit selalu runtuh oleh rintih. selalu datang pada setiap kepulangan. cuaca, terus merambat pelan. " Bisakah kita keluar dari dingin dinding ini?" III (aku ingin menjadi Musi. biar derapnya mengalir tenang di senyap lirih sajakku. menjadi lagu paling merdu. kita selalu menjadi pertapa, di hidup yang tak senant...