Langsung ke konten utama

Lorong Keabadian itu Bernama Bahasa

Aku menulis, maka aku ada.

Sekadar pengantar...
Bagi sebagian kalangan, menyelami dunia puisi adalah hal yang sangat sublim. Jauh dari hikuk pikuk dan hingar bingar duniawi seperti yang digandrungi muda-mudi dewasa kini. Puisi menyendiri di kedalamannya, sunyi. Bermuara pada kata. Bermetamorfosa menjadi ribuan abjad yang berjejal – bertumpuk sesak – dan berlari terengah di tengah gempuran zaman yang semakin tak tertahankan. Dunia yang satir, berbeda dengan riuh panggung hiburan, politik, ataupun cerita-cerita di balik layar lebar. Octavio Paz, sastrawan dunia dari Meksiko peraih nobel itu pernah mengatakan dalam bukunya The Other Voice, bahwa menulis puisi adalah pekerjaan yang paling ambigu. Saya, disini bukan sastrawan, yang mengerti dan paham betul tentang kesastraan, dengan ilmu selangit, bukan. Bukan katarsis yang harus menyatakan itu semua. Saya, hanya ingin sharing – lebih tepatnya mengenalkan –  sebuah dunia yang mengantarkan saya, sampai sejauh ini.

Sedikit bercerita...
Saya masuk di ranah dunia sastra, dimulai ketika masa-masa putih biru, 2008 tepatnya. Tahun yang masih bisa dibilang masih sebiji jagung. Seorang guru bahasa Indonesia pada waktu itu memberikan saya kesempatan untuk mengikuti sebuah ajang perlombaan menulis cerpen, tingkat kota dan kabupaten Bogor. Beliau adalah Pak Yudir Suhaedir, ia menyemangati saya – juga membimbing perlahan – tentang dunia yang baru saja kenali ini. Menulis. Mungkin sejak sekolah dasar pun, kita sudah diajarkan oleh guru tentang mengarang. Pernah suatu saya masih duduk di bangku kelas 5 SD, saya menulis tentang cita-cita saya dahulu : jadi ilmuwan. Hahaha. Saya masih ingat, di tulisan itu saya memaparkan ingin menjadi ilmuwan apa, dan kenapa alasannya. Sebuah alasan yang coba saya berikan waktu itu, saya ingin menemukan sebuah energi alternatif selain BBM, misalnya air untuk penggunaan bahan bakar kendaraan. Well, apakah cita-cita saya yang terlalu tinggi? Hehe. Guru yang menyuruh saya untuk menulis tentang cita-cita itu terus saja tersenyum, sembari mengelus-elus janggutnya yang khas. Saya terus menulis…

Sebelumnya, saya suka menulis. Lebih tepatnya menulis diari. Hehe. Kenapa? dalam diari, tidak ada  yang menghalangi, kita harus menulis sebanyak apapun, mau bercerita apapun, mau tentang apapun, meski terkadang isinya banyak tentang pengalaman pribadi. Jujur, membuka ‘arsip’ lama itu, seolah menarik kembali seluruh ingatan saya untuk kembali hadir, ketika membacanya kita selalu tersenyum sendiri, membacanya di kamar dengan pintu dikunci rapat-rapat. Betul kan? yang mengalami pasti akan tersenyum sendiri. Diari, bagi saya adalah catatan paling sederhana tentang setiap orang, dimana keluguan, kejujuran, kepolosan, semuanya tertuang di dalamnya. Pernah mungkin kalian mengalami, diari kalian adalh privasi kalian. Tidak sedikit, banyak di antara kita dahulu untuk sekadar saling tukar menukar biodata. Klasik. Haha. Atau, ada yang secara jahat membuka ‘arsip’ rahasia itu tanpa izin. Whoaaaa!

Konsistensi. Itulah kata pertama yang harus melekat kuat di benak saya. Perlombaan cerpen tersebut, memberi saya kesempatan bagaimana ketatnya bertarung melawan para pejuang pena, di kontes yang pertama saya ikuti. Ada rasa haru ketika pengumuman sore itu, setelah pemenang ketiga, dan kedua telah terlebih dahulu disebutkan, saatnya giliran pemenang pertama. Saya gemetaran.
“Syahrizal Sidik..!”

Saya terpana, masih tak percaya. Setelah nama sekolah itu disebutkan, keyakinan itu semakin tak tertahankan. Suara itu masih terngiang ngiang di udara, teman-teman menyoraki bangga. Mereka mengucapkan selamat, aku hanya bersyukur, kepada Tuhan yang memberikan saya kesempatan, sampai detik ini…

Tiga tahun kemudian...

Menulis adalah keterampilan yang tidak mengenal batas, waktu, usia juga tempat. Kita bisa menulis di manapun, kapanpun. Tak ada batasan kerja yang menghalangi kapan menulis harus berhenti, atau mengakhiri. Semua akan mengalir, sebagaimana kita mampu bertahan dan konsisten di dalamnya. Ketika banyak orang yang ingin menjadi penulis, tetapi hanya ingin mengejar popularitas belaka. Percayalah, hal itu tidak akan bertahan lama. Menulis, membutuhkan konsistensi terhadap karya, kedalaman karya akan bergantung dengan sejauh mana kita bisa mengekplorasinya, dan selalu berlajar dari generasi sebelumnya. Alhasil, masalah karya kita akan dimuat atau tidak itu tergantung dari semangat dan konsistensi tanpa henti. Percayalah, proses menjadi seorang penulis bukan seperti pemain sulap. Tapi, butuh waktu dan rentang waktu yang lama dalam mengolah di dunia kreativitas. Saya sendiri, mencoba fokus di dunia puisi memulainya di tahun 2009, tetapi baru pada 2011 sajak saya baru bisa dimuat oleh Majalah Horison di rubrik Kakilangit. Lebih malu lagi, jika saya harus membandingkan dengan Pramoedya Ananta Toer, beliau sudah membaca hampir semua novel terbitan Balai Pustaka pada usia enam tahun! Bayangkan. 

Belajar dari mereka...
Kita mungkin mengenal Pramoedya Ananta Toer dengan Bumi Manusia atau This Earth of Mankind, Rendra dengan Ballada Orang-orang Tercinta, Sapardi Djoko Damono dengan Hujan Bulan Juni, sampai kepada Sutardji Calzoum Bachri dengan O, Amuk, Kapak. Di luar negeri ada Leo Tolstoy yang mashyur dengan War and Peace, Rainer Maria Rilke dengan Letters to A Young Poet, William Shakesperae dengan Romeo and Juliet, dan masih banyak yang lainnya.  Mereka adalah segelintir orang dengan semangat pembaharu sastra, mencoba berkarya di luar kotak kebiasaan. Membuat karya yang berbeda, dengan kualitas karya yang luar biasa. Mereka adalah guru-guru abadi saya. Saya mencoba menyelami dunia itu, berguru kepada Rabindranath Tagore, Pablo Neruda, TS. Eliot, Omar Khayyam, Ernest Hemingway, Federico Garcia Lorca. Dan, sangat mencerahkan. Mereka memberikan spirit - lewat rohani di kedalaman karyanya - yang terus melegenda, sepanjang sejarah.

Semacam Epilog...
Menulis, bagi saya bukan hanya totalitas dalam berkarya. Tetapi adalah panggilan jiwa. Menulislah, dan bentangkan cakrawala imajinasimu, di sini, di sana, dan di situ sekaligus. Salam kreatif!

jadilah pembeda, di antara semua yang ada. 
hilangkanlah ilusi dengan langkah pasti. 
karena kau terlahir oleh-Nya, 
bukan sebagai kamu, dia, ataupun mereka.
                                      ~Syahrizal Sidik 





 


 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan Menulis Puisi Prosais : Ulasan Puisi Syahrizal Sidik

oleh : Jamal D. Rahman* Jejak Cahaya Malam Nuzulul Qur’an               kepada : malam Nuzulul Qur’an /i/ di riak jingga airmata jiwamu, berurai namamu memanjang seperti gemericik hujan yang jatuh kedalam rongga tabah tubuhku yang rubuh. lalu, menghampiri  jemari. memantik di dingin sunyi yang memapah deru paru. /iii/ adalah cahaya sunyi di dingin itu, ketika  kakilangit menjejak langkah di dekap sujudku yang rapat. memahat lekat ayat-ayat suci, terpatri erat mengakar. lindap didegup jantung, darahku kaku. kelu. /iii/ sudah kutahu cerita tentangMu. malam begitu beku, meniris  gerimis. jatuh diatap-atap bumi yang meratap. senyap. /iv/ jauh sebelum itu, bumi seperti rerengkuh angkuh, senjakala tiada. lembayung terpasung dikais dera tiada tara. angin mati, mendesahkan resah di malam itu. /v/ dikedamaian suatu ketika, malaikat turun kebumi, memapar kabar. lauh mahfudz menyala ...

Jurus GOTO Memoles Laporan Keuangan

                                                                                                               Katadata I Andrey Rahman  Usai melepas bisnis e-commerce Tokopedia ke TikTok, GOTO terus melakukan upaya pemangkasan beban usaha untuk mencapai profitabilitas lebih cepat, termasuk pelepasan unit bisnis GoTo Logistics.   GOTO mencatatkan penurunan kerugian bersih signifikan pada kuartal peryama dan kenaikan pendapatan sejalan dengan strategi pertumbuhan pada ekspansi pengguna, pengurangan beban operasional, dan penguatan kemitraan dengan TikTok dan Bank Jago.  Manajemen GOTO akan melakukan perombakan jajaran pengurus pada RUPST/RUPLSB Juni. Analis pasar modal memperkirakan prospek sa...

Mengenal Komunitas Airbrush Indonesia (KAI)

FOTO-FOTO: DOK.SYAHRIZAL SIDIK Anggota Komunitas Airbrush Indonesia (KAI) sedang “beraksi” mengekplorasi cat pada tangki bahan bakar sepeda motor agar menjadi nampak artisitik dan unik pada Minggu, (10/11) di Pelataran Parkir Timur Senayan,  Jakarta Pusat, dalam rangkaian acara Indonesia Motorcycle Fest 2013.         Saling Berbagi Melalui Seni “Kami semua seperti keluarga di sini,” begitulah ujar Pay (37), ketua Komunitas Airbrush Indonesia (KAI), sebuah organisasi yang didirikan atas keinginan dan inisiatif bersama, sekumpulan orang   yang memiliki minat yang sama, yakni; airbrush. Sebuah seni yang terbilang “baru” di Indonesia. Seperti apa ceritanya?      Di tengah cuaca terik ibukota, area parkir Timur Senayan, Gelora Bung Karno Jakarta dipadati ribuan pengunjung dari berbagai daerah di Indonesia. Pagelaran Indonesia Motorcycle Fest 2013, yang diselenggarakan pada Sabtu-Minggu, (9-10/11) itu berhasil menarik animo m...