Aku menulis, maka aku ada.
Sekadar pengantar...
Sedikit bercerita...
Tiga tahun kemudian...
Menulis adalah keterampilan yang tidak mengenal batas, waktu, usia juga tempat. Kita bisa menulis di manapun, kapanpun. Tak ada batasan kerja yang menghalangi kapan menulis harus berhenti, atau mengakhiri. Semua akan mengalir, sebagaimana kita mampu bertahan dan konsisten di dalamnya. Ketika banyak orang yang ingin menjadi penulis, tetapi hanya ingin mengejar popularitas belaka. Percayalah, hal itu tidak akan bertahan lama. Menulis, membutuhkan konsistensi terhadap karya, kedalaman karya akan bergantung dengan sejauh mana kita bisa mengekplorasinya, dan selalu berlajar dari generasi sebelumnya. Alhasil, masalah karya kita akan dimuat atau tidak itu tergantung dari semangat dan konsistensi tanpa henti. Percayalah, proses menjadi seorang penulis bukan seperti pemain sulap. Tapi, butuh waktu dan rentang waktu yang lama dalam mengolah di dunia kreativitas. Saya sendiri, mencoba fokus di dunia puisi memulainya di tahun 2009, tetapi baru pada 2011 sajak saya baru bisa dimuat oleh Majalah Horison di rubrik Kakilangit. Lebih malu lagi, jika saya harus membandingkan dengan Pramoedya Ananta Toer, beliau sudah membaca hampir semua novel terbitan Balai Pustaka pada usia enam tahun! Bayangkan.
Belajar dari mereka...
Kita mungkin mengenal Pramoedya Ananta Toer dengan Bumi Manusia atau This Earth of Mankind, Rendra dengan Ballada Orang-orang Tercinta, Sapardi Djoko Damono dengan Hujan Bulan Juni, sampai kepada Sutardji Calzoum Bachri dengan O, Amuk, Kapak. Di luar negeri ada Leo Tolstoy yang mashyur dengan War and Peace, Rainer Maria Rilke dengan Letters to A Young Poet, William Shakesperae dengan Romeo and Juliet, dan masih banyak yang lainnya. Mereka adalah segelintir orang dengan semangat pembaharu sastra, mencoba berkarya di luar kotak kebiasaan. Membuat karya yang berbeda, dengan kualitas karya yang luar biasa. Mereka adalah guru-guru abadi saya. Saya mencoba menyelami dunia itu, berguru kepada Rabindranath Tagore, Pablo Neruda, TS. Eliot, Omar Khayyam, Ernest Hemingway, Federico Garcia Lorca. Dan, sangat mencerahkan. Mereka memberikan spirit - lewat rohani di kedalaman karyanya - yang terus melegenda, sepanjang sejarah.
Semacam Epilog...
Sekadar pengantar...
Bagi sebagian kalangan, menyelami
dunia puisi adalah hal yang sangat sublim. Jauh dari hikuk pikuk dan hingar
bingar duniawi seperti yang digandrungi muda-mudi dewasa kini. Puisi menyendiri
di kedalamannya, sunyi. Bermuara pada kata. Bermetamorfosa menjadi ribuan abjad
yang berjejal – bertumpuk sesak – dan berlari terengah di tengah gempuran zaman
yang semakin tak tertahankan. Dunia yang satir, berbeda dengan riuh panggung
hiburan, politik, ataupun cerita-cerita di balik layar lebar. Octavio Paz, sastrawan dunia dari Meksiko peraih nobel itu pernah mengatakan dalam bukunya The Other Voice, bahwa menulis puisi adalah pekerjaan yang paling ambigu. Saya, disini
bukan sastrawan, yang mengerti dan paham betul tentang kesastraan, dengan ilmu
selangit, bukan. Bukan katarsis yang harus menyatakan itu semua. Saya, hanya
ingin sharing – lebih tepatnya mengenalkan – sebuah dunia yang mengantarkan saya, sampai
sejauh ini.
Sedikit bercerita...
Saya masuk di ranah dunia sastra, dimulai
ketika masa-masa putih biru, 2008 tepatnya. Tahun yang masih bisa dibilang
masih sebiji jagung. Seorang guru bahasa Indonesia pada waktu itu memberikan
saya kesempatan untuk mengikuti sebuah ajang perlombaan menulis cerpen, tingkat
kota dan kabupaten Bogor. Beliau adalah Pak Yudir Suhaedir, ia menyemangati
saya – juga membimbing perlahan – tentang dunia yang baru saja kenali ini.
Menulis. Mungkin sejak sekolah dasar pun, kita sudah diajarkan oleh guru
tentang mengarang. Pernah suatu saya masih duduk di bangku kelas 5 SD, saya
menulis tentang cita-cita saya dahulu : jadi ilmuwan. Hahaha. Saya masih ingat,
di tulisan itu saya memaparkan ingin menjadi ilmuwan apa, dan kenapa alasannya.
Sebuah alasan yang coba saya berikan waktu itu, saya ingin menemukan sebuah energi
alternatif selain BBM, misalnya air untuk penggunaan bahan bakar kendaraan.
Well, apakah cita-cita saya yang terlalu tinggi? Hehe. Guru yang menyuruh saya
untuk menulis tentang cita-cita itu terus saja tersenyum, sembari mengelus-elus
janggutnya yang khas. Saya terus menulis…
Sebelumnya, saya suka menulis.
Lebih tepatnya menulis diari. Hehe. Kenapa? dalam diari, tidak ada yang menghalangi, kita harus menulis sebanyak
apapun, mau bercerita apapun, mau tentang apapun, meski terkadang isinya banyak
tentang pengalaman pribadi. Jujur, membuka ‘arsip’ lama itu, seolah menarik
kembali seluruh ingatan saya untuk kembali hadir, ketika membacanya kita selalu
tersenyum sendiri, membacanya di kamar dengan pintu dikunci rapat-rapat. Betul
kan? yang mengalami pasti akan tersenyum sendiri. Diari, bagi saya adalah
catatan paling sederhana tentang setiap orang, dimana keluguan, kejujuran,
kepolosan, semuanya tertuang di dalamnya. Pernah mungkin kalian mengalami,
diari kalian adalh privasi kalian. Tidak sedikit, banyak di antara kita dahulu
untuk sekadar saling tukar menukar biodata. Klasik. Haha. Atau, ada yang secara
jahat membuka ‘arsip’ rahasia itu tanpa izin. Whoaaaa!
Konsistensi. Itulah kata pertama
yang harus melekat kuat di benak saya. Perlombaan cerpen tersebut, memberi saya
kesempatan bagaimana ketatnya bertarung melawan para pejuang pena, di kontes
yang pertama saya ikuti. Ada rasa haru ketika pengumuman sore itu, setelah pemenang
ketiga, dan kedua telah terlebih dahulu disebutkan, saatnya giliran pemenang
pertama. Saya gemetaran.
“Syahrizal Sidik..!”
Saya terpana, masih tak percaya.
Setelah nama sekolah itu disebutkan, keyakinan itu semakin tak tertahankan. Suara
itu masih terngiang ngiang di udara, teman-teman menyoraki bangga. Mereka
mengucapkan selamat, aku hanya bersyukur, kepada Tuhan yang memberikan saya
kesempatan, sampai detik ini…
Menulis, bagi saya bukan hanya totalitas dalam berkarya. Tetapi adalah panggilan jiwa. Menulislah, dan bentangkan cakrawala imajinasimu, di sini, di sana, dan di situ sekaligus. Salam kreatif!
jadilah pembeda, di antara semua yang ada.
hilangkanlah ilusi dengan langkah pasti.
karena kau terlahir oleh-Nya,
bukan sebagai kamu, dia, ataupun mereka.
~Syahrizal Sidik
jadilah pembeda, di antara semua yang ada.
hilangkanlah ilusi dengan langkah pasti.
karena kau terlahir oleh-Nya,
bukan sebagai kamu, dia, ataupun mereka.
~Syahrizal Sidik
Komentar
Posting Komentar