Di kebekuan Alcatraz,
ada sunyi yang memenjarakan mimpi.
Aku ingin lepas, mengembara ke negeri yang jauh dari
kebisingan. Kejemuan senantiasa datang, seperti tanpa kata perpisahan. Mampukah
kita bertahan di sana? berlayar di atas samudera yang bebas. Ingin
kujumpai kesendirian, di karang-karang kebebasan, dan kudaki bebukitan, atau
harus kukejar belukar. Bersembunyi, bersama sunyi, di antara sebaris nyanyian
paling merdu. Riak ombak biru. Mungkin itulah kamu. Dan, lautan adalah senyap
yang paling setia, menemani cerita-cerita
yang kubangun di atasnya. Menjadi undakan-undakan waktu, yang setiap
pasang berlari terhadapku dengan warna baru.
Nelayan-nelayan itu seolah tak pulang, menjaring nafas
hidup, pada sekian jemu kisah kita yang hampir redup. Ia akan menangkaran jangkarnya pada setiap
petang datang menjelang. Lalu hilang, dari putaran arus waktu. Aku, dia,
ataupun mereka, mungkin hanya gugup mengejar matahari, dan mungkin kembali,
pada dekap mimpi. Mereka ada, dengan kesetiaan yang terus membawanya berlayar.
Bersama layar yang kubuat dari perahu mimpiku, malam-malam
ini seolah punya cerita yang tak sama. Ada gemintang yang tenang, persis
seperti diorama hidup yang menceritakan kegelisahan yang kadang menghilang, antara
aku dan dirimu. Dapatkah, kita dipertemukan di sini? di atas dunia yang berbeda
kini.
Malam akan datang
semakin pekat, adakah nyanyian hujan yang selalu kunantikan itu? Di atas perahu
ini, kubangun puing-puing mimpi-mimpiku, yang mungkin tersimpan. Di langit
sana, teropong itu menjadi saksi kebekuan kita.
18/10/2012
Komentar
Posting Komentar