HALO Sobat GS! Bagaimana kabarnya minggu ini? Semoga selalu
baik-baik aja ya. Rubrik kali ini, kita akan mencoba mengupas mengenai aksi
tawuran pelajar yang semakin memprihatinkan, menurut sudut pandang pelajar.
Sobat..
Aksi tawuran pelajar yang belakangan kerap kali terjadi ini, seringkali menimbulkan banyak kontroversi. Pasalnya, mereka yang notabene adalah sosok yang berstatus sebagai pelajar seharusnya mampu secara sadar, dan mengerti bahwa tawuran merupakan tindak yang tidak patut untuk dilakukan. Akan tetapi, kenyaataan berkata lain, aksi tawuran pun tak terhindarkan. Tawuran pelajar kembali menelan korban. Setelah Alawy Yusianto Putra, siswa SMAN 6, Jakarta Selatan aksi premanisme kelompok ini kembali merenggut Denny Yanuar. Apa sebetulnya yang terjadi? Mungkinkah nilai-nilai yang diajarkan di sekolah sudah lumpuh? Pelajar saat ini, menghadapi banyak tantangan yang sangat kompleks di tengah kehidupan masyarakat yang semakin dinamis.
Endah Swarni, psikolog yang juga merupakan dosen salah satu
PTS di Jakarta berpendapat tawuran sudah termasuk dalam kejahatan remaja (juvenile delinquency), dimana
kebengisannya lebih banyak dilakukan dalam aksi kelompok dari para individu. "Tawuran yang terjadi pada remaja juga merupakan produk dari kondisi masyarakat dengan
segala persoalan sosial di dalamnya“ papar Endah
“Siswa yang terlibat dalam tawuran ini, pada umumnya kurang
memiliki kontrol diri, sekalipun ada, mereka menyalahgunakan untuk menjatuhkan
orang lain. Motif mereka melakukan ini, karena hasrat berkumpul dengan teman
senasib” paparnya
Sobat GS, karena remaja biasanya masih labil jiwanya,
secara tidak terduga-duga dan rentan sekali terjadi pergeseran perilaku normal menjadi perilaku
kriminal, bahkan asusila, karena pengaruh eksternal yang buruk. Hal tersebut
terjadi, karena masa remaja yang selalu ingin ‘coba-coba’.
Menurut Elvira, teman kita dari SMA Santa Ursula, Jakarta
Pusat misalnya, dia mengatakan bahwa tawuran seringkali dijadikan ajang
menunjukan ke eksisan seseorang, dengan tawuran mereka bisa menunjukkan siapa
mereka, kendatipun mereka tidak menonjol di bidang akademis maupun nonakademis
di sekolahnya. Melalui tawuran, mereka serasa dikenal, lebih dihargai, dan
ditakuti karena kekuatan mereka” papar Elvira
Nah, sobat GS
bagaimana kita menyikapi hal ini? Haruskah lagi tawuran kembali menelan korban
Alwy, juga Denni lainnya? Tentunya, kita berharap tidak. Selain langkah
preventif dan kuratif, yang paling jelas dan nyata bisa dilakukan tiada lain
adalah peran orangtua, guru yang harus lebih peduli terhadap anak didiknya,
memahami keinginan dan karakternya, semakin dibukakan lahan kreativitas yang
luas bagi mereka, bukan mengekang, memberi teladan, bukan hanya lewat janji,
tapi juga realisasi pasti. Dan yang terpenting terjalin komunikasi yang baik.
Karena, setiap orang punya ragam karakter yang berlainan. Semoga ini menjadi
akhir, dari sekian tawuran pelajar yang kian memprihatinkan. Semoga!
(Rep. GS. Syahrizal
Sidik/MAN 2/JC)
Komentar
Posting Komentar