TUHAN AKU INGIN MENANGIS SEKERAS-SEKERASNYA Sesal telah menatap bayanganku yang pilu. Dengan matanya nyalang Terkadang menujahkan Rasa sakit Hingga ke hulu. Derap tengisan Yang menjerit Sesulit mimpimu Yang tak pernah usai Mengatupkan dukanya. Abadi Adakah ia akan datang untuk Sekadar mengahmpiriku Atau mengirim airmata perih Untuk tetap kutangisi sendiri. Yang tak kumengerti. Hingga kini. 2011 BAYANGAN ITU TERLALU SEMU UNTUK KITA LIHAT Inikah jalanmu menentukan untuk nasib seribu tahun kedepan dengan menerawang jauh kedepan jendela yang kaubuat dari matamu dan yang selalu membukakan ditiap pagi saat ia datang terlambat untuk keduakali. Barangkali aku mungkin datang untuk meneguk beberapa butir ilmu yang teruntai dari kata yang samar. Sesamar wajahmu yang kerap menundukan kegetiran saat tiba dering pagi mengunjugi hari-harimu itu. Kita yang terlihat sama dari jendel kaca memang sudah dinisbatkan seperti matahari yang beranjak dan berpijak di ...
We write to taste life twice, in the moment and in retrospect. —Anaïs Nin