Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2012

sajak dalam perjalanan

TUHAN AKU INGIN MENANGIS SEKERAS-SEKERASNYA Sesal telah menatap bayanganku yang pilu. Dengan matanya nyalang Terkadang menujahkan Rasa sakit Hingga ke hulu. Derap tengisan Yang menjerit Sesulit mimpimu Yang tak pernah usai Mengatupkan dukanya. Abadi Adakah ia akan datang untuk Sekadar mengahmpiriku Atau mengirim airmata perih Untuk tetap kutangisi sendiri. Yang tak kumengerti. Hingga kini. 2011 BAYANGAN ITU TERLALU SEMU UNTUK KITA LIHAT Inikah jalanmu menentukan untuk nasib seribu tahun kedepan dengan menerawang jauh kedepan jendela yang kaubuat dari matamu dan yang selalu membukakan ditiap pagi saat ia datang terlambat untuk keduakali. Barangkali aku mungkin datang untuk meneguk beberapa butir ilmu yang teruntai dari kata yang samar. Sesamar wajahmu yang kerap menundukan kegetiran saat tiba dering pagi mengunjugi hari-harimu itu. Kita yang terlihat sama dari jendel kaca memang sudah dinisbatkan seperti matahari yang beranjak dan berpijak di ...

Harapan yang Terkadang Lebih Kekal dari Matamu

Harapan Itu katamu dulu. Yang kau ucap kemarin sore Saat mengejar anganmu Yang hinggap di senyap sayap. Kita memang diciptakan berbeda Namun siapa yang mempetak-petakan harapan Itu hingga kau sendiri Membunuh anganku Dengan tanganmu Yang terkadang lebih tajam Dari senjata manapun. Tuhan mempersaksikan Kita disini, Untuk kembali. Pada sebuah pagi Yang teramat biasa untuk Kita lalui Seperti sore kemarin Menerbangkan laying itu Kembali Di jantungmu! 2011

Saat Aku Kembali Apa yang Kau Cari Nanti

itukah dirimu, yang kutemukan dari tubuh sajak. ditelikung itu aku baru saja membaca mu dari bahasa dan isyarat kata yang sengaja diciptakan. Aku tengah menemukanmu, jauh di belantara sepi Yang beranjak pergi dari kebisingan Untuk datang membecimu. Kau selalu menjawab “untuk apa kau membeciku” “mungkin” Itu kataku Sesaat sebelum kau berlalu untuk pergi Selamanya. 2011

untuk Seseorang yang Aku Sayangi

  Cinta, tahukah sejak kapan engkau diciptakan untukku? Seperti itulah pertanyaan yang melintas dalam pikiranku, saat bebanku terasa lebih berat saat ku jauh darimu. Saat puisi yang kubuat untuk mu mungkin hanya sebuah sajak yang tak lebih kata yang tiada berarti sama sekali. Aku sedang merenungi hari, semakin lama kau menggenggam butir cintaku. Perlahan –kau sendiri seperti mengikis perlahan benang benang harapan yang aku susun dengan tangan harapanku. Jangan, itu lebih sakit dari yang kubayangkan. Sebab aku meyakini, kau adalah orang yang kusayang. Aku selalu membayangkan, jika saat yang paling tak kuinginkan itu tiba –semoga tidak.  Saat yang kenyataan paling pahit yang kita hadapi itu ada didepan mata kita sendiri. dan saat itu pula aku tidak akan bisa berkata banyak lagi, jika memnag itu adalah jalan terburuk yang mempertemukan kita. 1 November 2011 Aku ingat tanggal itu tepat menunjukkan 1 11 2011, pada suatu sore di hari Selasa, aku datang menemuimu yang sed...

Beberapa Sajak di Suatu Pagi 5 Oktober 2011

TENTANG KITA YANG AKAN DILAHIRKAN MENJADI APA Dari sini, seribu kepastian menepis pelipis senyap, suni kata-kataku. angin baru saja hinggap di tabir mimpi yang belum usai, menyisakan seruak rahak pada unggun api-api pagi. ia masih menyala, menerbangkan debu-debu kepedihan pada mata pagi yangenggan untuk terbuka. ia hanya kabut, sampai menenggelamkannya. mati limaoktoberduaribusebelas DAWAI-DAWAI ILMU YANG PUPUS, LALU PUTUS Matahari menitipkan malas di ruang-ruang kelas yang bersekat di dinding itu. kemudian kita menerawang jauh, beribu abjad di buku-buku yang baru kita buka dan kit abaca pagi itu. ada sejarah yang tak ingin dikisahkan, lantaran persoalan panjang kehidupan. ada juga ilmu yang harus terhenti, dengan janji. melihat wajah-wajah masa depan, tanpa arah. menuju waktu, yang perlahan menjemputnya tiada. KEPADA ANGIN YANG MATI PAGI TADI seperih mati yang kau sayat dengan tangan waktu yang tak juga binasa.  ia bersembunyi pada kaca embun yang...

Parousia

/I/ setelah habis misa Natal, aku kembali. menjelma pedih, luruh dalam lukalukaku yang belum usai. ada purnama yang tenggelam, disikap redup lentera dilenganku. mataku terlalu tirus untuk menyeka airmata yang mengairi kepergiannya, setahun yang lalu. sepertiga kenangan telah lama memupuri retak tanah ini. /II/ ini kali terakhir aku mengenangnya kembali. setelah sekian pahit kita reguk dengan bilur yang tak henti menepi. adalah semata takdir yang lahir dari rahim tangisnya. kini, saat sakit seperti para pembezoek yang menghampiri. ada saat waktu yang paling nisbi menjadi rajam anganku. /III/ aku kembali ke mata lindu  yang menujahkah ngilu, tiada henti seperih mati yang menjejak-hentakkan harapannya yang selalu sirna. saat lentera padam, tiba tiba seperti ladam yang menghunjam tubuhku. ini kali terakhir kutatap utuh tabah tubuhku di ujung figura yang kerap ibu simpan di hati kami yang lirih. /IV/ aku sedang mendayungkan seruap sampan harapan, dengan lengan sa...