Sebuah video iklan menarik muncul di layar yang terpajang di dalam gerbong kereta Commuter Line jurusan Palmerah menuju Pondok Ranji, Tangerang Selatan, Banten.
Dalam visual iklan itu, tampak seorang perempuan milenial yang ingin belanja tapi kesulitan karena tak punya uang seharga barang yang diincar. Beruntung, ia terbantu karena ada aplikasi yang menawarkan pinjaman secara online atau bahasa kerennya, peer-to-peer (P2P) lending.
"Buy now, pay later," begitu moto singkat iklan tersebut.
Tagline tersebut tampaknya sehari-hari kita dengar, dan tak asing lagi. Kian kencang minat orang konsumsi, semakin besar pula godaan untuk mencari pinjaman untuk merealisasikan keinginan. Di sinilah kian menjamur bisnis teknologi finansial (fintech) yang menawarkan kemudahan untuk meminjam uang atau fintech lending. Beberapa nama bisa disebut di antaranya Akulaku, Kredivo, Modalku, Investree dan lainnya.
Apa keunggulannya, dan mengapa perbankan ketar ketir dengan hadirnya lini fintech pinjaman ini?
Salah satu keunggulan layanan fintech lending ialah praktis. Ismaya (25), salah satu pekerja di Jakarta, adalah satu debitur Akulaku dan membuktikan kepraktisan itu. Dia meminjam uang sebesar Rp 2,5 juta untuk membeli laptop seharga Rp 3,5 juta guna keperluan pekerjaan.
Saat itu, ia baru punya uang Rp 1 juta, jadi sisanya harus pinjam. "Karena pinjamnya enggak ribet, hanya modal KTP, diproses sebentar bisa dapat cicilan, beda dengan bank, pasti lebih lama prosesnya," ceritanya kepada CNBC Indonesia, awal April lalu.
Dia juga tak begitu mengindahkan soal risiko bunga yang lebih tinggi, pokoknya semua beres dengan mencicil yang dinilai lebih mudah. "Yang terpenting saya sudah memiliki uang muka, sisanya saya mencicil."
Ismaya adalah satu dari sekian banyak nasabah Akulaku. Pada Agustus 2018, manajemen Akulaku bahkan sempat mengklaim nasabah mereka sudah tembus 10 juta. Kini penggunanya sudah mencapai 15 juta, dan diklaim menjadi platform peer-to-peer lending terbesar di Asia Tenggara. Tahun lalu, Akulaku telah menyalurkan kredit sebesar Rp 9,8 triliun. Fantastis.
Director of Corporate Affairs and Public Relations Akulaku Indonesia, Anggie Setia Ariningsih, mengatakan perusahaan membidik pertumbuhan penyaluran dana mencapai 300% dan peningkatan pengguna hingga 3 kali lipat pada tahun ini dari tahun sebelumnya.
"Semua gebrakan dan pengembangan yang telah, sedang dan akan kami lakukan ini adalah bentuk komitmen kami dalam mendukung program pemerintah untuk mewujudkan inklusi keuangan dengan menyediakan layanan keuangan non-tunai kepada semakin banyak orang di Indonesia," kata Anggie, dalam konferensi pers, Januari silam.
Setidaknya Akulaku sudah menggandeng 120.000 UMKM di Indonesia, dan tersedia di berbagai merchant offline dan online seperti Bukalapak, Shopee, Blibli, JD.ID, dan beberapa lainnya.
Jejak Akulaku di Indonesia
Sebetulnya Akulaku belum lama hadir di Tanah Air, baru 2016 atau 3 tahun. CEO Akulaku, William Li, kepada Tech in Asia Indonesia, mengatakan ide mengembangkan Akulaku datang dari keinginan membuat layanan finansial di negara berkembang di luar China.
Li berpengalaman sebagai manajer investasi di perusahaan asuransi Ping An Insurance Company. Latar belakang ini kian meneguhkan komitmennya membangun Akulaku. Bersama rekannya, ia mengembangkan sebuah layanan pengiriman uang (remitansi) lintas negara di Hong Kong pada awal 2015.
Pada akhir 2014, seperti dikutip Tech in Asia, Li berhasil mendapat pendanaan tahap awal sebesar US$ 1 juta atau sekitar Rp 12,4 miliar dari IDG Capital untuk bisnis tersebut. Dana itu kemudian digunakan untuk biaya operasional dan merekrut karyawan.
Lewat layanan pengiriman uang buatannya, Li bisa bertemu dengan para nasabah yang merupakan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Indonesia dan Filipina. Dari pertemuan itu, Li mulai mempelajari gaya hidup dan latar belakang mereka.
Dari situ, Li mendapat ide membuat layanan finansial berbasis internet di Indonesia. Karena bisnisnya bergerak di remitansi, Li diuntungkan karena mempunyai akses untuk berbincang dengan bankir-bankir besar tanah air, mulai dari Bank BRI, Bank Negara Indonesia (BNI), hingga Bank Mandiri.
"Saya kemudian memahami bahwa ada banyak individu yang tidak terlayani oleh bank di Indonesia. Model bisnis bank memang mengincar sektor yang menjanjikan keuntungan dalam jumlah yang besar, seperti properti, agar mereka punya selisih keuntungan yang aman," kata Li.
Selama 2 tahun menjekakkan kaki di tanah air, Akulaku mampu mencatat penyaluran pinjaman kepada 2 juta orang dengan nilai transaksi rata-rata Rp 50.000 - Rp 500.000.
Sadar akan bisnis yang terus berkembang, Akulaku melebarkan sayap bisnis ke Filipina dan Vietnam. Saat ini, saham Akulaku dimiliki sebagian oleh Alibaba, raksasa e-commerce global yang berbasis di China.
Selain bisnis pinjam meminjam melalui PT Pintar Inovasi Digital, Akulaku punya didukung bisnis lain yakni e-commerce melalui PT Akulaku Silvrr Indonesia dan PT Akugrosir Indonesia, serta bisnis pembiayaan atau multifinance lewat PT Akulaku Finance Indonesia.
Pencapaian yang patut diacungi jempol ialah ketika fintech ini berhasil mencaplok bank nasional di Indonesia, padahal biasanya bank yang mengakuisisi fintech.
Akulaku menginvestasikan dana sebesar Rp 500 miliar ke PT Bank Yudha Bhakti Tbk (BBYB), bank kecil yang masuk kategori BUKU I (bank umum kelompok usaha), bank dengan modal di bawah Rp 1 triliun.
Suntikan dana tersebut digunakan untuk melakukan terobosan penyaluran pinjaman baru. Bank Yudha Bakti adalah bank fokus pada kredit konsumer pegawai dan pensiunan. Pemegang saham Bank Yudha Bhakti sebelumnya adalah PT Gozco Capital (42,16%), Asuransi Jiwa Adisaranawhanaartha (5,95%), PT Asabri (23,89%) dan investor publik (28%).
Masuknya setoran Akulaku ini kemudian akan dilanjutkan dengan penerbitan saham baru dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau rights issue yang akan dilakukan BBYB pada April 2019 ini.
"Lanjut rights issue, paling cepat April dan paling telat Mei 2019," ujar Sekretaris Perusahaan Bank Yudha Bakti Andriyana Muchyana, kepada CNBC Indonesia, Jumat (15/3/2019).
Jadi Ancaman Bank?
Pengamat perbankan Paul Sutaryono menilai keberadaan Akulaku dan P2P lending lainnya akan berkembang pesat. Tren ini bahkan berisiko menjadi ancaman karena mengganggu bisnis ritel perbankan seperti penyaluran kredit ke UMKM.
Sebab itu, perbankan harus membuat ekosistem dengan saling bekerjasama. "Bank harus lebih waspada dan jika perlu menggandeng fintech untuk mampu bersaing dalam menyalurkan kredit secara cepat, tidak perlu agunan dan tatap muka," kata Paul, Kamis (5/4/2019).
Bukan tidak mungkin ke depan, generasi milenial akan semakin akrab dengan platform P2P tersebut ketimbang bank konvensional, meski ada risiko seperti tingkat denda dengan bunga yang cukup tinggi.
"Milenial akan menentukan sendiri tidak perlu diimbau. Hal yang penting dan mendesak bagi milenial adalah memahami potensi risikonya," kata Paul.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mendukung fintech P2P lending yang sudah berizin dan terdaftar di OJK untuk bekerjasama dengan e-commerce. Hal itu sebagai langkah positif kerja sama antara e-commerce dan fintech membentuk ekosistem digital.
"Kerja sama antara fintech dan e-commerce tersebut adalah contoh yang positif dari suatu model ekosistem ekonomi digital," kata Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi.
Catatan:
Komentar
Posting Komentar