Di atas panggung yang gelap itu, sorot cahaya lampu mengarah kepada CEO Apple Inc, Steve Jobs. Ia berjalan tenang, bercelana jins, sepatu kets putih dan kardigan bernuansa gelap di hari yang bersejarah: peluncuran perdana iPhone.
“Every once in a while a revolutionary product comes along that changes everything,” begitulah kata-kata pembuka Steve Jobs saat memperkenalkan ponsel pintar besutan Apple itu ke seluruh penjuru dunia di gelaran Macworld Keynote Address, San Fransisco, 9 Januari 2007, 12 tahun lalu.
Siapa menyangka, Apple
Inc, yang didirikan tiga anak muda: Steve Jobs, Steve Wozniak, dan Ronald Wayne
pada 1976 silam menjadi perusahaan paling berpengaruh di dunia. Inovasi Apple
mampu menciptakan berbagai produk Apple yang bernilai tinggi dan laris manis di
pasar global. Hingga saat ini, iPhone masih menjadi produk andalan Apple yang
memberikan kontribusi paling besar bagi pendapatan perusahaan yang bermarkas di
Apple Park, Cupertino, Amerika Serikat itu.
Pada Agustus 2018, nilai kapitalisasi pasar atau market capitalization perusahaan produsen iPhone, iPad dan Mac itu di bursa saham Amerika Serikat, Nasdaq mencapai 1 triliun US$. Fantastis!
Kini, perusahaan yang
dikomandoi Tim Cook itu menghadapi tantangan yang tidak mudah, di tengah isu
perang dagang yang mengemuka sejak 2018 lalu. Bara perang dagang yang
dihembuskan Amerika Serikat terhadap China, mulai berdampak bagi
perusahaan-perusahaan negeri Paman Sam. Apple adalah salah satu yang kena
getah. Perang tarif antara Washington yang berkepanjangan turut berdampak pada
kinerja keuangan Apple
Untuk pertama kalinya
dalam 15 tahun terahir, sebagaimana dilaporkan BBC, Apple Inc mencatatkan
penurunan pendapatan yang cukup tajam pada kuartal ketiga tahun lalu,
penyebabnya adalah karena perang dagang. Ini menyebabkan penjualan di wilayah
China Raya termasuk Hong Kong dan Taiwan anjlok.
Penurunan pangsa pasar Apple di China. Sumber: BBC
Dalam laporan
keuangan Apple di kuartal ketiga melansir data Bloomberg, terjadi penurunan pangsa
pasar (market share) Apple di bawah 5%. Padahal, pada tahun sebelumnya, pangsa
pasar Apple masih stabil di kisaran 5% dan menanjak pada kuartal keempat 2017
menjadi 10%. Sebaliknya, pangsa pasar ponsel pabrikan China, Oppo dan Huawei
tumbuh.
Apple memproyeksikan, penjualan pada November tahun lalu mencapai US$ 89 miliar, namun target itu ternyata meleset. Investor saham Apple pun kecewa, dan membuat saham Apple terkoreksi 7%.
Harga saham Apple jatuh ke level terendah pasca rilis laporan keuangan yang mengecewakan.
Sumber: Marketwatch
“Meningkatnya ketidakpastian di pasar keuangan, turut berdampak pada
penjualan yang menurun di wilayah Cina Raya, termasuk Hong Kong dan Taiwan,” ungkap Tim Cook, 2 Januari
2019.
Padahal, China berkontribusi terhadap 20% pendapatan Apple.
Hal senada diutarakan Analis BBC, Dave Lee dalam laporannya menyebut, Apple sangat rentan terhadap risiko perang dagang antara Amerika Serikat dan China. “Risiko ketegangan perdagangan dapat menyebabkan konsumen Cina membeli lebih sedikit produk-produk Apple,” ungkap Dave Lee, 3 Januari 2019 lalu.
Faktor lain, yang dicermati analis mengenai penurunan pendapatan Apple disebabkan oleh produk terbaru yang tidak merebut hati konsumen lantaran harga yang terlampau tinggi, padahal fitur yang ditawarkan tidak mengalami pembaruan yang begitu signfikan.
Aksi Balasan Beijing
Pertengahan Mei lalu, saham Apple kembali anjlok hingga 6% di bursa Nasdaq. Kejatuhan harga saham ini karena kabar kebijakan China menerapkan tarif baru pada produk impor asal AS.
China mengenakan tarif bea impor pada US$60 miliar produk AS sebagaibalasan atas keputusan Presiden Donald Trump menaikkan tarif bea impor jadi 25%pada US$200 miliar produk asal China.
Perang dagang jilid II memang menjadi bencana
bagi Apple. Pasalnya, sebagian perakitan iPhone dilakukan di China. Produk yang
dirakit ini akan dijual di pasar Amerika. Jadi, produk iPhone bisa dikenakan
tarif 25% bila masuk ke AS.
Analis Morgan Stanley Katy Huberty menyebut, naiknya tarif 25% pada iPhone membuat harga iPhone XS akan naik US$160. Bila ditambah dengan pajak perusahaan, maka laba per saham Apple akan turun 23% pada 2020.
"Apple memiliki salah satu eksposur paling
signifikan dalam perang dagang AS dengan China, apalagi banyak perakitan
perangkat elektronik konsumennya berlokasi di China," tulis Huberty dikutip
dari CNBC International, Selasa, 14 Mei 2019.
Penjualan Apple Kembali Turun
Performa keuangan
Apple belum menggemberikan pada kuartal kedua tahun ini. Tahun fiskal kuartal
kedua terhitung sejak Januari hingga Maret 2019, di mana Apple memberlakukan
kuartal pertama pada periode September hingga Desember 2018, sebab pada periode
tersebut Apple merilis berbagai produk baru.
Pada kuartal kedua, perseroan membukukan pendapatan bersih sebesar US$ 58 miliar turun 5% dari perolehan tahun sebelumnya di periode yang sama senilai US$ 61 miliar.
Secara rinci, pendapatan produk menyumbang sebesar US$ 46 miliar, dari tahun sebelumnya US$ 51 miliar. Sedangkan, layanan menyumbang pendapatan Apple sebesar US$ 11,45 miliar dolar, naik dari periode yang sama tahun lalu US$ 9,8 miliar.
Dari komposisi, iPhone masih menyumbang pendapatan terbesar dengan kontribusi sebesar US$ 31 miliar disusul oleh lini computer Mac, sebesar US$ 5,5 miliar. Selebihnya disokong oleh iPad sebesar US$ 4,87 miliar dan aksesoris lainnya senilai US$ 5,12 miliar.
Total penjualan Apple selama
kuartal II-2019. Sumber: Apple Newsroom
Sementara itu, wilayah China Raya masih menempati peringkat ketiga sebagai negara yang memberikan kontribusi pendapatan terbesar bagi Apple, nilainya mencapai US$ 10,21 miliar, turun dari periode yang sama di tahun lalu US$ 13,02 miliar.
Selanjutnya, wilayah
Amerika menempati peringkat pertama dengan kontribusi penjualan sebesar US$
25,59 miliar, disusul negara-negara di Eropa, Jepang dan Asia Pasifik
masing-masing sebesar US$ 13,05 miliar, US$ 5,5 miliar dan US$ 3,6 miliar.
Jony Ive, mantan Chief Design Officer Apple bersama CEO Apple Tim Cook di sela peluncuran iPhone XR. (Sumber: Apple Newsroom).
G-20 dan Harapan Negosiasi Dagang
Di tengah kelesuan ekonomi global, pertemuan Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) G-20 di Osaka, Jepang Juni lalu, setidaknya menjadi katalis
positif bagi pasar globak, dua ekonomi terkuat dunia, mengendurkan tensi dagang
yang memanas setahun belakangan ini.
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping
menyampaikan sinyal kesepakatan untuk merundingkan kembali isu perang dagang
yang telah membuat tatanan perekonomian global mengalami guncangan. Washington
menyatakan akan menunda mengenakan tarif tambahan senilai US$ 300 miliar.
Seusai pertemuan tersebut, Trump dan Xi Jinping menegaskan akan
mengurangi ketegangan atas perang dagang dengan meningkatkan kerja sama lebih
lanjut. Pernyataan tersebut diharapkan dapat meredam dampak perang dagang
antarkedua negara yang berlangsung setahun lebih.
"Faktor redanya ketegang perang dagang AS dengan Cina akan
terdampak pada peluang membaiknya pasar global,” tulis Riset Valbury Sekuritas.
Tentu, Washington tidak ingin, perusahaan negara dari asalnya kian berdarah-darah akibat dampak dari perang dagang. Sebagaimana terlihat dari kinerja Apple yang tergerus.
Sejarah baru sedang dinantikan.
Komentar
Posting Komentar