adakah yang lebih gemetar
diantara reranting itu.
kuyup, mempertemukan
sunyi paling puisi.
sedang, layang-layang
yang melayang di matamu,
jatuh
menikam setiap rintiknya.
hujan bulan juni, seperti gugur
dan menggigirkan
setiap ruapnya.
yang mengendap, diam.
: di sepi itu.
hujan, menemukan tubuhnya sendiri-sendiri.
begitu nyeri. di kerling
rerumputan itu,
dan ia hanya menunggu.
: memanggil namamu
bogor, 6 juni 2012
kita hanya tersekap,
pada kata yang kian senyap.
di lengang jalan menuju rumahmu
adzan di
kejauhan mentasbihkan rindu di ujung namamu—
baris-baris angin yang mengangankan dirinya
: jatuh bersamamu.
siluet paling senja,
mendekap rapat orang-orang dalam sujudnya
: penuh doa
akankah, malam datang membawamu sebuah doa?
mungkin, hanya amin yang aman kau ucap.
pintu-pintu malam mengecup, namamu.
—13 juni 2012—
peristiwa selepas hujan
kenapa melulu dingin yang datang
dengan wajah sendu.
perempuan berkalung cemas, begitu tabah
menunggu hujan reda dari tangannya.
hujan
itu datang menjemputnya.
: dengan tubuh paling utuh
seorang lelaki —nun disana mengekalkan
bait-bait hujan yang tersekap
dari jemari yang menari, dengan rintiknya.
hujan itu mendekat, sampai di kaki-kakinya.
“berikan hujan itu padaku” ujar payung itu.
lelaki itu berkejaran dengan hujan,
menjemputnya, sampai hujan itu tiada.
bogor, april
2012
lingkaran gerimis
gerimis itu datang tiba-tiba.
saat aku lelap
dalam rebahku.
sepasang tangan mengusik
–bayangan—
tubuhku yang tertukar diantara rintiknya.
gerimis itu menangis,
kudengar ia menjauh
dari tanganku.
menjumpai sepi yang terampai.
lalu tak sampai.
gerimis itu berlalu,
mengantarkan dingin
yang
melingkar utuh di lenganku.
gerimis seperti mengenalku.
dulu.
2011
Komentar
Posting Komentar