Gambar diunduh di sini
Berhentilah menulis kalau kau tak rela hidupmu
Jadi sajen di candi yang tak dikenal
Menulislah kalau kau yakin sajakmu menjadi sepi
: Keheningan pertapa saat roh memandang dirinya.
—Saini
KM, Penyair
PUISI ibarat lukisan dalam bahasa.
Begitulah seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer. Menyelami puisi
adakalanya harus menghadapi keadaan yang tidak pernah kita bayangkan. Sesuatu
yang di luar batas dan kadang-kadang di luar logika kita sebagai manusia pada
umumnya. Seorang Chairil yang terkenal dengan “Binatang Jalang” adalah
representasi seorang penyair, yang identik dengan lingkungan yang penuh
prihatin; kurang uang, badan kurus, kurang tidur, mata memerah dan hal-hal
lainnya.Chairil, si penyair bohemian itu selama hidupnya meramu ke 27 sajaknya
sampai akhir hayat yang memisahkannya, sajak-sajaknya berani, penuh gelora dan
semangat, tentunya mendobrak tradisi lama dari generasi pujangga baru yang
cenderung homogen dalam karya-karya yang dihsailkannya. Tidak sampai di situ,
Chairil adalah generasi angkatan ’45 sekaligus sebagai pelopor kesusastraan
Indonesia modern. Siapa yang tidak mengenal sosok yang satu ini, sajaknya
banyak dibacakan di lomba-lomba acara kemerdekaan, dari mulai sekolah dasar
sampai sekolah menenangah atas di Indonesia pasti mengenal satu dua buah puisi
karya penyair ini.
Puisi bagi orang awam sering diidentikkan
dengan perasaan yang berlebihan, mengungkapkan dengan kata-kata yang romantis,
yang cenderung cengeng. Padahal, kenyataanya tidak demikian. Banyak di antara
kita salah mendefinisikan mana puisi mana curahan hati, dan masyarakat kita
cenderung menilai puisi sebagai curahan hati, sehingga penyampaiannya seringkali
dianggap sama saja: mendayu-dayu. Masyarakat kita yang cenderung abai pada hal
seperti puisi, padahal di dalamnya, kita diajarkan untuk mengenali rasa,
menghargai estetika, dan inilah yang membedakan dengan beberapa negara di
dunia, bahwa, masyarakat dapat dikatakan maju dan berperadaban ketika
masyarakat sadar aka bacaan yang bermutu, salah satunya melalui kesuastraan.
Sebagai contoh, di negara Jerman, Perancis, Inggris, Amerika yang sudah maju,
justru melahirkan penulis-penulis sehebat Nietzsche, Charles Baudelaire, Ernest
Hemingway, sampai T.S Eliot.
Chairil,
adalah seorang pembaharu sastra Indonesia yang berhasil mendobrak tradisi
pujangga baru yang cenderung karya-karyanya liris. Chairil datang dengan
situasi yang berbeda, puisinya hadir mengangkat keresahan yang dialaminya,
penuh gelora. Seperi dalam petikan salah satu puisinya, “Kau Tahu”
…………………………………………………………….
Sepi di luar,
sepi menekan-mendesak
Lurus-kaku
pohonan. Tak bergerak
Sampai ke
puncak
Sepi memagut
Tak
kuasa-berani melepas diri
Segala menanti.
Menanti-menanti
Sepi
……………………………………………………………
Menikmati
sajak perlu kekhusuykan, di mana kita bisa larut dalam permenungannya. Joko
Pinurbo, penyair asal Yogyakarta ini pernah mengatakan bahwa puisi memiliki
misi mengembalikan suara nurani yang tergerus oleh kelatahan industri. Tidak
bisa kita membaca sebuah puisi dalam hingar bingar. Puisi adalah kesendirian
itu sendiri. Meditasi yang membuat setiap manusia bisa membaca situasi dalam
dirinya; rasa. Puisi adalah ketulusan hati itu sendiri, dia tidak bisa
dipegang, karena tidak berbentuk fisik. Tapi, ajaibnya, pusi ini sudah ada
sejak jaman dahulu. Para filosof Yunani kuno dahulu berpandangan seseorang yang
mengerti puisi adalah seseorang yang setingkat dengan dewa dan dianggap luar
biasa. Begitu tingginya peran puisi, karena dulu raja-raja meminta nasihat
sebelum memberikan kebijakan melalui syair-syair bijak para penyair. Pada
intinya, puisi diciptakan untuk memenuhi kebutuhan rohani manusia. Agar kita
tidak cenderung abai pada rasa, tidak melihat segala sesuatu selalu pragmatis.
Dan puisi muncul menyuarakan nurani manusia. Kadangkala puisi menyuarakan
satire dari kisah hidup sehari-hari. Simaklah sajak Sapardi Djoko Damono dalam
buku puisnya “Hujan Bulan Juni.”
………………………………………………………………………………………
TENTANG SORANG PENJAGA KUBUR YANG
MATI
bumi tak
pernah membeda-bedakan. seperti ibu yang baik
diterimanya kembali anak-anaknya
yang terkucil dan
membusuk, seperti halnya bangkai
binatang, pada suatu hari
seorang raja, atau jenderal, atau
pedagang, atau klerek…
sama saja;
dan kalau hari
ini si penjaga kubur, tak ada bedanya, ia seorang
tua yang rajin membersihkan
rumputan, menyapu nisan,
mengumpulkan bangkai bunga dan
daunan; dan bumi pun
akan menerimanya seperti ia telah
menerima seorang laknat,
atau pendeta, atau seorang yang acuh
tak acuh kepada bumu,
dirinya.
toh akhirnya semua
membusuk dan lenyap. yang mati tanpa
genderang, si penjaga kubur ini,
pernah berpikir: apakah
balasan bagi jasaku kepada bumi yang
telah kupelihara
dengan baik; barangkali sebuah sorga
atau ampunan bagi
dusta-dusta masa mudanya, tapi sorga belum pernah
terkubur dalam tanah.
dan
bumi tidak membeda-bedakan, tak pernah mencinta
atau
membenci; bumi adalah pelukan yang dingin, tak
pernah
menolak atau menanti, tak akan pernah membuat
janji dengan langit.
lelaki
tua yang rajin itu mati hari ini; sayang bahwa ia tak bisa
menjaga
kuburnya sendiri.
(1964)
……………………………………………………………………………………………
Puisi tersebut
secara peristiwa bukanlah hal yang aneh, bahkan seringkali ada di keseharian
kehidupan. Mengisahkan tentang kisah seorang penjaga kubur, namun penyair dalam
aku-liriknya berhasil “keluar” dari anggapan umum kita memandang seorang
penjaga kubur. Paradoks itu muncul dari bait puisi yang terakhir, lelaki
tua yang rajin itu/ mati hari ini;/ sayang bahwa ia tak bisa/ menjaga kuburnya
sendiri.// Di sinilah letak kepekaan kita membaca situasi, melihat keadaan yang
biasa dan mengubahnya menjadi realitas lain yang tidak biasa secara kasat mata.
Mata seorang penyair dalam memandang sesuatu tidak hanya melihat realita,
tetapi di balik semua tanda itu dan melukiskannya ke medan bahasa. Seperti yang
dikatakan pada awal tulisan, bahwa puisi adalah lukisan dalam bahasa, dan karena melukis itu susah, butuh komposisi, warna, kesabaran, keuletan, rancang
bangun dan lain sebagainya. Begitu halnya puisi, butuh kesabaran dan ketulusan
hati. Puisi yang ditulis tanpa ketulusan hanya akan menjadi puisi tanpa ruh,
cenderung dibuat-buat, hiperbol, dan tentu tidak membekas bagi pembacanya.
Puisi yang baik adalah puisi yang menggetarkan pembacanya. Kesederhanaan dalam
puisi juga memberikan ruang tersendiri, seperti yang dilakukan Saini KM dalam
puisi-puisinya yang teduh, sederhana, tetapi tetap memiliki ruh. Petikan dalam
puisi “Kota Kelahiran”
…………………………………………………………………………….
Mengimbau kotaku di dasar hijau
lembahmu
Dinafasi angin di dua musim
Ketika fajar berlinang embun
Dan gugur bunga-bunga kemarau
Betapa banyak di sana bulan jatuh
ke kali
Terapung dalam air rindu kita
Surat-surat terlambat atas
rentangan rel kereta
Jendela yang senantiasa terbuka
ke arah masa lalu
Betapa banyak di sini hujan yang
menguyupkan hatiku
Dan malam lewat atas pelupuk mata
terbuka
Jalan panjang merangkai tahun ke
tahun
Di likunya wajah-wajah berdesak
menyuruki sepi
…………………………………………………………………………………
PUISI adalah ketulusan hati. Di mana
kejujuran dan suara nurani kita ditimbang-timbang, membangun rancang, menulis
ulang, menghapus frasa, menambah kata, menyusun diksi, sampai akhirnya menjadi
sebuah puisi. Sudahkah kita menulis dengan hati nurani? J
[syahrizal
sidik]
|
oleh : Jamal D. Rahman* Jejak Cahaya Malam Nuzulul Qur’an kepada : malam Nuzulul Qur’an /i/ di riak jingga airmata jiwamu, berurai namamu memanjang seperti gemericik hujan yang jatuh kedalam rongga tabah tubuhku yang rubuh. lalu, menghampiri jemari. memantik di dingin sunyi yang memapah deru paru. /iii/ adalah cahaya sunyi di dingin itu, ketika kakilangit menjejak langkah di dekap sujudku yang rapat. memahat lekat ayat-ayat suci, terpatri erat mengakar. lindap didegup jantung, darahku kaku. kelu. /iii/ sudah kutahu cerita tentangMu. malam begitu beku, meniris gerimis. jatuh diatap-atap bumi yang meratap. senyap. /iv/ jauh sebelum itu, bumi seperti rerengkuh angkuh, senjakala tiada. lembayung terpasung dikais dera tiada tara. angin mati, mendesahkan resah di malam itu. /v/ dikedamaian suatu ketika, malaikat turun kebumi, memapar kabar. lauh mahfudz menyala ...
Komentar
Posting Komentar