: kepada Para Penadah Hujan hujan kemudian jatuh, menjamah begitu tabah pada tubuhku ia menjelma angin yang menerbangkan ngilu pada belikat tulang-tulangku. tiba-tiba: dingin menyergap, pada keheningan yang kini hinggap. perlahan hujan memapahku, kaku. ketika tangan mimpi mendekap doa-doa. seperti mata air yang keluar dari airmata pilu. letih begitu lirih, dalam angkara perih. seperti waktu yang tak pernah berhenti bertanya tentangku. aku hanyalah penadah hujan. dari pinggiran kehidupan. Tuhan, kuhadapkan wajahku. kepada langit, kepada hujan, kepada matahari. tapi tak jua kutemukan Engkau. aku ingin menghadap Mu sejenak disini, hujan turun menadahkan perih. dalam dingin yang mendekap beku malam itu, berselimut duka, yang tak juga tiada. Bogor 11092011
We write to taste life twice, in the moment and in retrospect. —Anaïs Nin