Gebrakan Uber di Bursa Wall Street



    Ilustrasi: Pexels 


Raut kegembiraan memancar dari wajah CEO Uber Dara Khosrowshahi, Jumat pagi itu. 10 Mei 2019, Manhattan mencatat sejarah, perusahaan yang dipimpinnya melenggang di bursa saham New York. Ini menandai perjalanan panjang Uber, perusahaan teknologi berbasis berbagi tumpangan yang berbasis di San Fransisco itu menjadi perusahaan publik.

“Saya tidak menyangka, perjalanan perusahaan bisa sampai pada titik ini, saya senang Uber bisa tercatat di bursa saham New York,” kata Dara Khosrowshahi, dalam wawancaranya dengan CNBC International, pekan lalu.

Uber melepas 180 juta lembar saham kepada publik dengan harga IPO US$ 45 per saham. Dengan demikian, perusahaan yang melantai dengan kode saham UBER ini bakal meraup dana segar sebesar US$ 8,1 miliar, atau setara Rp 115,02 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.200. Ini menandai raihan IPO terbesar ketiga di sektor teknologi setelah Facebook sebesar US$ 16 miliar pada 2012 dan Alibaba sebesar US$ 25 miliar pada 2014 silam. 

Perusahaan yang didirikan Travis Kalanick dan Garrett Camp itu memulai operasionalnya pada 2009 lalu itu membidik valuasi hingga 120 miliar US$ dengan menjadi perusahaan publik. Padahal, jika mencermati lebih lanjut struktur keuangan perusahaan, tahun 2018 pendapatan Uber mencapai US$ 11,3 miliar naik 43% dari periode yang sama di tahun sebelumnya. Uber belum pernah mencatatkan laba bersih. Tahun lalu, Uber mencatatkan rugi US$ 1,8 miliar. Saat ini, Uber termasuk salah satu startup decacorn atau bervaluasi di atas US$10 miliar. 

“Uber membidik valuasi  hingga $ 120 miliar. Kisaran harga IPO yang diharapkan adalah antara $ 44 dan $ 50 per saham,” tulis CNBC International, Jumat (10/5/2019). 

Sayangnya, saat debut perdana di lantai bursa New York, perusahaan dengan kode saham UBER tersebut malah anjlok 7,6 persen ketika pasar ditutup. Valuasi Uber yang semula diestimasikan akan mencapai di atas 100 miliar US$ sudah tentu tak tercapai.

Kejadian sama juga dialami pesaing Uber yang lebih dulu melantai di bursa Nasdaq, Lyft pada Maret lalu yang juga sahamnya justru anjlok setelah IPO. Perusahaan yang berdiri sejak 212 itu meraup dana IPO sebesar US$ 2,34 miliar. 

Lyft adalah perusahaan berbagi tumpangan paling besar kedua di Negeri Paman Sam setelah Uber dengan pangsa pasar 28%. Saat ini, valuasi perusahahaan diperkirakan mencapai 15 miliar dollar AS atau sekitar Rp 210 triliun. Dengan IPO, nilai kapitalisasi pasarnya diperkirakan akan meningkat menjadi 25 milliar dollar AS atau Rp 350 triliun. 

 

       Valuasi perusahaan teknologi di Amerika Serikat

 

Tidak Instan

Meski debut perdananya tidak menggembirakan, CEO Uber Uber Dara Khosrowshahi meyakini ke depan kinerja perseoran akan tumbuh positif. Situasi ini sama dengan Amazon yang saat go public dengan kerugian tetapi pertumbuhannya tinggi.

Kala itu, para pembeli saham Amazon terjebak pada pemikiran keuntungan saja dan cenderung mengabaikan saham karena tidak melihat adanya keuntungan dalam waktu dekat. Sebaliknya, para pembeli saham yang melihat pertumbuhan valuasi perusahaan itu akhirnya memetik buah manis setelah beberapa tahun.

"Itu akan menjadi niat kami (seperti Amazon), meskipun tidak ada jaminan," kata Khosrowshahi saat wawancara dengan CNBC International.

Sebagai perbandingan, melansir data Nasdaq, Amazon menawarkan 3 juta lembar saham saat debut perdana pada tahun 1997, dengan harga per lembar saham US$ 16, Amazon meraih dana IPO US$ 48 juta. Saat ini, harga saham perusahaan yang dipimpin Jeff Bezos itu diperdagangkan pada level US$ 1.870 dengan nilai kapitalisasi pasar yang cukup fantastis, US$ 920,17 miliar!

Menilik fenomena tersebut, bagaimana kinerja perusahaan-perusahaan teknologi seperti Facebook dan Alibaba yang sudah lebih dulu melantai di bursa saham?

Facebook yang IPO pada 2012 harga sahamnya diperdagangan pada kisaran US$ 31 per saham. Kini, harga saham yang dikomandoi Mark Zuckerberg itu sudah menyentuh US$ 185,10 per saham dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar US$ 528,95 miliar.

 Pergerakan saham Facebook saat IPO di tahun 2012 hingga sekarang. Sumber: Marketwatch


Sementara itu, dari sisi pendapatan Facebook sejak 2014 hingga sekarang trennya terus meningkat. Pada 2014, pendapatan Facebook mencapai US$ 12,47 miliar, kemudian meningkat setahun kemudian menjadi US 17,93 miliar dengan laba bersih masing-masing sebesar US$ 2,93 miliar dan US 3,67 miiliar. 

Terbaru, pada 2018, pendapatan Facebook secara konsolidasi mencapai US$ 55,84 miliar dengan laba bersih perusahaan pada 2018 mencapai US$ 22,11 miliar.

Kinerja yang positif juga ditunjukkan Alibaba, saat IPO sahamnya diperdagangkan pada level US$ 88,85. Sekarang, harga saham perusahaan yang didirikan Jack Ma itu sudah menyentuh  US$ 171,69 dengan nilai kapitalisasi pasar US$ 436,12.


Pergerakan saham Alibaba saat IPO di tahun 2014 hingga sekarang. Sumber: Marketwatch


Dari sisi pendapatan perusahaan dengan kode saham BABA itu mencatatkan pendapatan US$ 37,76 miliar pada akhir tahun 2018 dengan perolehan laba bersih sebesar  US$ 9,27 miliar. Pada saat IPO tahun 2014 silam, pendapatan BABA baru mencapai US$ 8,58 miliar dengan laba bersih US$ 3,82 miliar.

Rekomendasi Analis

Mengingat kinerja UBER maupun pesaingnya, LFYT belum menggembirakan di bursa saham AS, kolumnis MarketWatch Howard Gold mengingatkan kepada investor agar berhati-hati membeli saham keduanya, karena dari sisi fundamental perusahaan masih mencatatkan rapor merah.  

“Untuk investor individu yang mungkin tergoda dengan harapan mereka akan menjadi Amazon berikutnya, saya punya satu saran: jangan. Sebagian besar dari perusahaan-perusahaan baru ini rugi miliaran dollar, butuh bertahun-tahun bagi mereka agar bisa mencatatatkan keuntungan.” kata Howard Gold, melansir MarketWatch, Selasa (14/5/2019).

Howard melanjutkan, pertimbangan lainnya perusahan di sektor yang sama, Lyft, juga turun hampir 30% sejak perusahaan go public pada bulan Maret.

Namun demikian, apakah ini saat yang tepat bagi investor untuk berinvestasi di perusahaan tersebut? T.J. van Gerven, pendiri Modern Wealth Builders juga mengingatkan, orang yang berencana untuk berinvestasi di Uber pada bulan-bulan mendatang harus meredam ekspektasi mereka. 
"Jika Anda pikir Anda akan membeli Uber dan Lyft, bersiaplah untuk perjalanan yang sangat bergelombang," katanya. 
Walters mengatakan tahun pertama biasanya sulit bagi perusahaan yang baru ke pasar keuangan langsung mencatatkan kinerja yang positif. "Secara historis, sebagian besar IPO memiliki kinerja yang buruk dalam 12 bulan pertama mereka karena tekanan penjualan yang signifikan dari orang dalam perusahaan, modal ventura, dan investor ekuitas swasta yang mencari untuk melikuidasi kepemilikan tidak likuid mereka," katanya.

Bagi investor lokal pun sekarang bisa berpartisipasi membeli saham perusahaan-perusahaan asing dengan catatan, perusahaan sekuritas di tanah air memiliki jaringan ke bursa saham internasional seperti Amerika Serikat (AS), Singapura dan sebagian di Eropa.

Informasi yang dihimpun CNBC Indonesia saat ini contoh sekuritas asing yang menjual saham perusahaan-perusahaan teknologi ternama dunia adalah JP Morgan. Untuk bisa membeli saham, calon investor harus melakukan registrasi terlebih dahulu baik secara daring maupun datang ke kantornya di Jakarta.

Untuk pengisian dana awal sebagai persyaratan transaksi jual-beli saham, calon investor akan diinstruksikan untuk mengisi saldo di Rekening Dana Investor (RDI) yang terintegrasi dengan rekening perusahaan sekuritas. Pada prinsipnya, transaksi jual beli saham perusahaan di AS sama dengan memeli saham lokal.

Peluang Bagi Go-Jek dan Grab  
Apa peluang yang bisa diambil perusahaan sejenis di tanah air seperti Go-Jek maupun Grab, akankah bisa menyusul langkah UBER maupun LFYT menjadi perusahaan publik?

CEO dan Co-Founder Grab Anthony Tan menyatakan, hingga kini Grab belum menunjukkan minatnya untuk melakukan penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam waktu dekat kendati perusahaan sudah memiliki valuasi di atas US$ 10 miliar, atau decacorn.

"Kami akan melanjutkan eksplorasi dengan partner-partner strategis untuk berinvestasi lebih lanjut ke Grab. IPO belum dibutuhkan dalam waktu dekat," kata Anthony Tan di Jakarta, Rabu (6/3/3019).  

Senada, Go-Jek juga menyebut saat ini IPO belum menjadi prioritas utama perusahaan berbagi tumpangan yang didirikan Nadiem Makariem itu. VP Corporate Communications Gojek Kristy Nelwan mengatakan saat ini perusahaan sedang fokus untuk memperkuat bisnis agar bisa terus memperkuat layanan di Indonesia maupun di negara yang menjadi target ekspansi.

"IPO belum menjadi prioritas dalam waktu dekat. Fokus kami saat ini adalah untuk terus mengembangkan bisnis dan memperkuat layanan kepada para pengguna aplikasi kami serta terus memberikan dampak ekonomi dan sosial yang signifikan kepada mitra kami di negara-negara tempat kami beroperasi," kata Kristy dalam keterangannya.

Belajar dari UBER dan LYFT, setidaknya ada dua hal yang bisa dicermati, pertama memastikan tidak terjadi pemberitaan buruk atau skandal yang bisa menjadi katalis negatif bagi citra perusahaan. Pemberitaan buruk pernah merundung Uber seperti skandal data, aksi mogok kerja dan unjuk rasa pengemudi Uber dua hari menjelang IPO.

Sisi lain, perusahaan juga harus menempuh strategi bisnis yang tepat dan memberikan sinyal kepada investor bahwa mereka akan memberikan keuntungan. 

Go-Jek dan Grab sebagai aplikasi super atau SuperApp atau memiliki banyak unit usaha bisa memberikan sinyal positif bagi investor mengenai diversifikasi pendapatan, berbeda dengan Uber yang hanya mengandalkan layananan berbagi tumpangan saja.

Kita nantikan kejutan selanjutnya!

Komentar

Postingan Populer