Belajar Investasi ala Warren Buffet


     Ilustrasi: Pexels 


Belasan siswa SMA di Omaha, Nebraska duduk tertegun di ruang kelas mendengarkan Warren Buffet bertutur soal rahasianya menjadi miliuner dunia dari trading saham. Dialog Warren Buffet dan belasan siswa itu berlangsung santai dan kadang jenaka, sebagaimana digambarkan dalam film dokumenter Becoming Warren Buffet besutan sutradara Peter Kunhardt.


"Never depend on single income, make investment to create a second source," kalimat ini yang selalu didengungkan Buffet. Bahwa, investasi memang diharuskan, agar kita tidak hanya bergantung pada satu sumber penghasilan.


Tentu, kita tidak harus seperti Buffet, yang mendirikan Berkshire Hathaway dan menjadi orang kaya sedunia versi Forbes dengan kekayaan menembus US$84 miliar atau sekitar Rp1.176 triliun (asumsi dolar AS Rp14.000).


Tapi pesan pentingnya adalah bagaimana memulai investasi sedini mungkin, utamanya bagi generasi milenial (lahir tahun 1980-2000, usia saat ini 19-39 tahun). Apalagi Buffet juga memulai investasi saham di usia 11 tahun, dengan membeli 6 lembar saham Cities Service seharga US$38 per saham.


Elisabet Lisa adalah satu contoh dari kalangan milenial yang mulai menyadari pentingnya investasi. Awalnya, Lisa menaruh investasi di instrumen reksa dana dengan menyisihkan Rp 150.000 per bulan. Setelah itu, ia mulai tertarik di saham dalam tiga bulan terakhir. Lisa tertarik dengan imbal hasil yang lebih tinggi, meski mengakui risiko juga tinggi.


"Sekarang masih negatif [portofolio saham]," tuturnya kepada CNBC Indonesia, belum lama ini. Tak hanya Lisa, jumlah investor saham kalangan milenial terus bertambah.


Data terbaru dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), pada Desember 2018 menyebutkan, Single Investor Identification (SID) tumbuh 44% menjadi 1.613.165 SID. Jumlah tersebut terdiri dari investor saham, surat utang, reksa dana, Surat Berharga Negara (SBSN) dan efek lain yang tercatat di KSEI. 


Menariknya, dari sisi demografi investor di Indonesia saat ini didominasi oleh investor milenial. "Investor di bawah usia 30 tahun naik 39,72 persen di 2018," kata Direktur Utama KSEI Friderica Widyasari Dewi.  


Pertumbuhan investor baru tersebut tidak hanya berpusat di Jawa, tapi sebarannya juga meluas ke berbagai wilayah di Indonesia. Direktur Pengembangan BE Hasan Fawzi mengatakan, pertumbuhan investor muda terutama usia 18-25 tahun atau milenial menjadi yang tertinggi dalam dua tahun terakhir. Pertumbuhan jumlah investor baru per bulan itu rata-rata melampaui 19.000 SID.


"Pertumbuhan investor dengan usia di bawah 35 tahun itu pertumbuhannya paling cepat," kata Hasan Fawzi.  Sebagai perbandingan, di pasar obligasi saja, kaum milenial juga mulai dominan. Data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu menunjukkan dari total investor baru pembeli Savings Bond Ritel (SBR) seri 005 yang dirilis pemerintah akhir Januari lalu yakni 12.961 investor, jumlah investor dari generasi milenial mendominasi dengan porsi mencapai 50,61% dari total jumlah investor.


Jangka panjang


Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga terus mendorong pendalaman pasar keuangan dengan memperluas basis investor domestik. Dengan begitu, diharapkan kian banyak generasi milenial berinvestasi di pasar modal yang sifatnya jangka panjang. Ini penting mengingat milenial cenderung menginginkan hasil jangka pendek ketimbang jangka panjang.


Generasi sebelumnya, generasi X (lahir antara 1968 dan 1979) menurut survei ORC International pada Juli 2016, lebih suka menabung untuk investasi jangka panjang ketimbang menabung untuk tujuan jangka pendek.


Dengan karakteristik saham jangka panjang, tentunya instrumen investasi ini bisa menjadi pilihan bagi generasi milenial. Dengan demikian, hadirnya galeri Bursa Efek Indonesia (BEI) di kampus-kampus mestinya bisa menjangkau lebih banyak investor milenial.


Sebab itu, pendalaman pasar keuangan memang masih jadi pekerjaan rumah bagi pemangku kepentingan pasar modal, baik OJK, BEI, dan pelaku pasar lainnya. Selama ini sosialisasi dan edukasi tak hendi dilakukan pelaku pasar dan regulator. Hanya saja dampaknya belum maksimal mendorong milenial melek saham.



Oleh karena itu, Direktur PT Panin Asset Management Rudiyanto, menilai pendalaman pasar mestinya bisa dilakukan dengan terobosan baru agar bisa menjangkau lebih banyak investor, misalnya dengan menggandeng platform e-dagang seperti Bukalapak, Tokopedia.


"Reksa dana meledak setelah ada kerja sama dengan Tokopedia, Bukalapak, itu bukan selling agent, dia cuma penyedia layanan, pertumbuhan yang tinggi itu banyak ditopang e-commerce," kata Rudiyanto.


Generasi milenial, katanya, punya potensi yang besar, sehingga pendekatan dari sisi literasi keuangan juga harus dilakukan dengan cara milenial. "Materi desainnya harus bagus, supaya mereka tertarik. Ekstensifikasi dulu sebanyak-banyaknya karena ini [pendalaman pasar] masih butuh waktu," tuturnya.


Besarnya potensi ini juga disoroti Hoesen, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK. Mantan Direktur BEI ini juga menyebutkan satu contoh rendahnya investor di reksa dana.


Kendati secara tren 4 tahun terakhir dana kelolaan tumbuh lebih dari dua kali lipat dari Rp 242 triliun pada 2014 menjadi Rp 505 triliun di 2018, tapi jumlah investor reksa dana kecil. Jika dibandingkan dengan total populasi masyarakat kelas menengah Indonesia yang mencapai 22% dari total populasi, investor reksa dana hanya 1,8%.


"Jika dibandingkan dengan total populasi penduduk Indonesia jauh lebih kecil lagi, hanya 0,4%," ujar Hoesen. Potensi sangat besar apalagi jika kita melihat data survei OJK 2016 indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia masih rendah. Indeks Inklusi Keuangan baru 29,7% sedangkan Indeks Literasi 67,8%. Artinya potensi investasi masih besar untuk dikembangkan.


Fakta ini tentu bakal didukung proyeksi pasar modal Indonesia yang tampaknya adem-adem saja. Panin Asset Management bahkan memproyeksikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan melaju pada level 6.700-7.200. Asumsi itu didasarkan pada kebijakan bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (the Fed) yang tidak akan seagresif seperti tahun lalu. Kinerja IHSG akan ditopang data laporan laba emiten yang positif di BEI.


Membaiknya pendapatan dan konsumsi masyarakat juga akan menjadi katalis bagi IHSG di tengah risiko tahun politik yang cenderung menurun. Selain itu, peranan investor domestik pun kian menopang laju pasar modal domestik.


"Tensi politik ternyata memiliki kinerja historis yang selalu positif pada semua jenis reksa dana. Baik saham dan obligasi yang menjadi aset dasar reksa dana mengalami pertumbuhan positif," kata Rudiyanto.




Dengan rendahnya pemahaman dan penggunaan produk keuangan, sudah saatnya publik milenial mulai berinvestasi, apalagi informasi soal investasi sudah banjir di media massa dan media sosial. Mudah sekali mencari informasi jenis-jenis investasi, terutama saham, obligasi, dan reksa dana. Jadi ingin cari investasi apa, tinggal browsing dan tanya 'mbah' Google, atau ikut komunitas investasi saham.


Namun mudahnya informasi ini tentu perlu dibekali dengan pengetahuan memadai sehingga tidak asal gampang termakan isu gorengan atas saham tertentu. Selain itu, berinvestasi juga patut mempertimbangkan bagaimana memilih investasi yang sesuai dengan horizon dan kemampuan finansial, karena semua investasi pada prinsipnya punya kelebihan dan keuntungan, serta tingkat risiko berbeda.


Jika Anda masuk tipe risk taker, investasi dengan return tinggi dan risiko tinggi bisa Anda jajal untuk meningkatkan pundi keuangan. Tapi sebaliknya, kalau Anda tipe investor yang low risk, atau menghindari risiko, maka investasi dengan risiko rendah bisa Anda masukkan dalam portofolio investasi.

Komentar

Postingan Populer