FLO…
Oleh: Syahrizal Sidik
Ilustrasi Hery Purnomo |
Stasiun
Tugu, Yogyakarta.
Aku
kembali.
Peluit panjang penjaga
peron stasiun menyambutku begitu hangat, begitu dekat. Ini masih pukul empat
dini hari. Ibu-ibu penjual nasi kucing sudah mulai menjajakan dagangannya di
sudut-sudut stasiun, dengan bakul yang dibawa di punggungnya, penjaja koran,
sekelompok pemuda dan bapak-bapak yang menunggu kedatangan kereta sambil
meminum kopi dan bercengkrama. Udara begitu dingin, kukalungkan syal hijau
zamrud, membebat leherku. Sambil kuhirup caffelatte,
tiba-tiba aku teringat, tiga tahun yang lalu, sebelum aku berangkat ke
Vienna, di kota inilah aku mengenalmu, Flo.
*
Dinding langit tak terkunci. Serupa
isyarat bagi langkahku untuk pergi. Akankah Yogya membawa berita baik, aku tak
tahu. Ataukah… kabar buruk. Aku masih di sini, ditemani segelas kehangatan itu,
seratus delapan puluh mili air mengepungnya, melebur menjadi satu ramuan
istimewa. Tiba-tiba aku teringat dirimu, Flo.
Ya, Flo.
Aku mengenalnya ketika
aku satu sekolah dengannya pada masa putih abu. Aku selalu ingat pada mata
beningnya selalu menghiasai hari-hariku dengan binarnya. Terlebih saat menatap
hujan. Menatap rinai gerimis yang jumlahnya tak terhingga, bahkan jika
dikalkulasikan dengan cintaku, Flo begitu berharga.
Aku memutuskan untuk
kembali ke Indonesia, ke rumahku, tempat di mana aku seharusnya berada.
Merelakan segala mimpi dan angan pergi menjauh. Sekian lama aku mengembara di
Vienna, mempelajari banyak budaya yang ada. Namun, selalu saja jiwaku menarikku
kembali untuk pulang ke Tanah Air. Tentu dengan alasan lain aku kembali, Flo.
“Yogya masih tetap
sama, Vi. Masih tetap dengan sejuta pesona budaya dan keramahan warganya. Kota
budaya, kota yang penuh dengan hangat kenangan, kuliner dan juga istirah para
dewa…”
*
“Suka minum kopi? tanya Flo, gadis bertubuh
tinggi semampai, rambutnya masai tergurai, ia berkulit kuning gading saat aku
berada di kelasku, bergelut dengan catatan yang harus kuselesaikan ditemani
kopi kotak.
Aku mengangguk.
“Caffelatte.”
“Kembali ke awal, kamu
tipikal pria romantis”
Aku menatapnya. “Oh
ya? Aku baru tahu kamu suka meramal lewa kopi. He-he-he.”
Flo tertawa. Ia duduk
di sampingku. “Nggak, aku cuma suka minum kopi.”
Aku dan Flo pernah
satu sekolah ketika SMA, dia anak kedua dari tiga bersaudara. Aku mengenalnya
ketika kelas dua, tepatnya ketika selepas praktikum Biologi. Saat itu, gurunya,
Bu Retno terkenal sangat killer, sialnya,
hari itu aku datang terlambat. Sementara kelompok praktikum sudah dibagi pagi
itu. Ketika aku datang ke laboratorium, praktikum sudah dimulai, aku mencoba
masuk ke ruang laboratorium setelah meminta izin ke Bu Retno. Namun, tak ada
kelompok yang mau mengajakku bergabung. Di situ aku terdiam, dan hampir akan
bolos praktikum. Namun, perempuan bersuara lembut dari arah sudut laboratorium
memanggilku.
“Raa..vi…?”
Aku mendesir. Melihat
perempuan yang baik hati menyapaku. “I..ya Flo”
“Kamu mau bergabung
dengan kelompok kami?”
“Hm.. ya tentu”
“Baik, ayo ”
“Makasih ya Flo”
“Kalo.. mau gabung ada
syaratnya loh”
“Waah.. apaan tuh?”
“Yang pasti.. jangan
berani telat di kelas Bu Retno. He-he-he”
“Ngeledek nih
ceritanya”
“Hahaha. Nggak kok,
cuma ngingetin” sambil tersenyum.
“Ampun deeh.. ini
emang lagi telat aja”
“Ambil jas
labnya dulu, Vi.”
Kami berpisah ketika
melanjutkan ke perguruan tinggi. Flo diterima di Fakultas Kedokteran, di salah
satu perguruan tinggi negeri ternama di Yogyakarta. Sementara aku memilih untuk
kuliah arsitektur di Austria. Tapi, saat ini aku memilih untuk kembali ke
Indonesia. Aku ingin bertemu dengan Flo.
*
Aku dan Flo berjanji
untuk bertemu hari ini. Dan, aku sedang menunggunya setelah ia pulang kerja.
Aku ingin melihat wajahnya setelah sekian lama tidak berjumpa.
Ah, Flo..
Aku tersenyum senyum
sendiri membayangkannya.
Flo berjalan pelan
masuk ke dalam restoran. Langkahnya pasti dan penuh kedewasaan. Aku
memandangnya tanpa berkedip. Dengan rok hitam polkadot, dan kemeja krem , ia
berjalan menghampiriku. Wajahnya penuh senyum. Ia menggunakan kacamata minus
berbentuk persegi panjang, menegaskan tulang rahangnya. Flo tampak begitu
cerdas, dan anggun. Aku mengenali wajah terkininya karena beberapa kali kami
bertukar foto melalui surat elektronik.
Aku terpesona, dan
sungguh benar-benar terpesona. Flo mencariku, matanya mengelilingi ruangan yang
bernuansa hijau. Ketika mendapatiku sedang menatapnya, ia melempar seulas
senyum di bibirnya dan mempercepat langkahnya. Beberapa saat, dia mematung di
depanku dan kami masih bertatapan dengan jarak yang sangat dekat. Kemudian ia
duduk. Wangi tubuhnya tercium olehku, jug aroma napasnya. Sesaat kaku. Flo
membetulkan letak kacamatanya.
“Sudah lama?” Tanya
Flo basa-basi.
“Lumayan,” aku
tersenyum.
….
Ketika
waktu berhenti, kukenang kembali airmatamu yang menari:
Di situ
senja yang tak terlupakan diciptakan.
Dan
cinta, disapa dengan ribuan nama.
Aku
berada di sebelahnya. Kami berjalan menyusuri padang rumput. Ketika sampai di
sebuah batu besar. Flo duduk dan bersandar sambil mengusap peluh yang memenuhi
keningnya.
“Aku
lupa bawa tissue,” ujar Flo.
“Kebiasaan jelek kamu ga pernah
berubah, ya?” ledekku
“Emangnya masalah buat kamu, hah? Ia
melirikku tajam, bercanda.
Mengapa harus di saat seperti ini
saat aku ingin mengenang segala sesuatunya, ada perasaan yang lain, yang
mencoba menarikku kembali?
“Kenapa kamu kembali, Vi?” tanya Flo
pelan
“Karena
aku ingin.”
Flo menatapku. “Selalu, jawabanmu begitu.
Kemudian, kamu akan pergi lagi.”
“Kali
ini tidak.”
Flo tidak menjawab. Ia berpaling menatap senja yang turun, matanya meredup perlahan.
“Ingat saat kita pertama kali ke sini?” Aku mencoba mencairkan suasana.
“Ya.”
Flo mengangguk. “Tiga tahun lalu.”
“Flo,
aku jatuh cinta sejak pertama kali aku bertemu kamu, di laboratorium itu.”
Tak
ada yang keluar dari mulut Flo.
“Tolong,
dengerin aku dulu…” Aku meraih
dagunya, kami kembali bertatapan. “Aku ingin jadi satu untukmu, di sana ada
bersamamu. Aku akan berusaha melndungimu, dengan segenap kemampuanku.
Flo
menatapku lebih dalam. “Vi, aku piker, banyak hal yang belum aku tahu tentang
kamu, walaupun sudah sekian lama kita bersama…”
Aku meraih jemari Flo sambil tersenyum hangat, “Kita bisa saling mengenal dan menghabiskan waktu bersama lagi, izinkan aku kembali bersamamu lagi.”
Flo menarik napas dalam. Kali ini aku tak bisa menebak perasaannya. Aku hanya berharap hatinya tergugah. Aku pun hanya bisa menerka, bahkan mencoba untuk berharap Flo mau menatapku. Kesunyian ini menyayat hatiku. Alya tidak menjawab, ia beranjak dan berjalan ke padang ilalang sebelah barat. Aku tak mau ini semua hanyalah mimpi. Aku menyadari ini terlalu cepat untuk mengatakannya.
*
Rintik
hujan turun di luar dan terlihat menyisakan percikan di kaca jendela. Angin
berembus semilir memasuki ruangan lewat kaca jendela yang terbuka. Lama kami
terdiam, sama-sama melihat ke luar jendela. Menikmati rintik hujan yang semakin
lama, semakin menderas. Aku merangkulnya. Flo meletakkan kepalanya di bahuku.
Dapat tercium olehnya wangi rambutnya.
“Aku ingin berjalan di bawah rintik hujan…” kata Flo.
Aku
kemudian mengajaknya berdiri, keluar dari restoran itu dan berjalan menembus
hujan. Kami berdiri berhadapan, lalu kutarik ia ke dalam pelukanku. Membiarkan
tirai hujan mengguyur tubuhku. Tak peduli pada amukan gemuruh dan kilatan
cahaya yang membelah langit Yogyakarta. Aku terus memeluknya.
“Aku akan terus di sini. Di kota ini, Flo,” kataku.
Kami
terdiam. Kurasakan tubuhnya bergetar. Kukecup keningnya. Di sini akhirnya
kutemukan cinta itu.
“Aku
akan menikah minggu depan, Ravi…” ucapnya lirih, di dadaku.
“Menikah?”
Aku melonggarkan pelukanku dan menatapnya. “Tapi, kamu nggak pernah cerita.”
Flo
terdiam beberapa saat kemudian berkata, “Maaf…”
*
Aku memandang kopiku telah dingin.
Tak ada lagi keresahan serta kegelisahan yang membelenggu jiwaku. Kulayangkan
tatapanku pada langit kota Vienna. Di sana aku duduk di salah satu kafe cantik,
Bon Apetit. Lampu-lampu mobil
bagaikan jutaan berlian mengalir di
salah satu sisi jalan, dari arah hulu, berkelap-kelip yang tak terhitung menuju
hilir.
Aku tersenyum sambil menyeruput caffelatte-ku, bersamaan dengan bintang yang muncul di permadani malam. Aku menulis dalam notebook, teringat sesuatu:
….
Ketika
waktu berhenti,
kota-kota
menghapus jejak airmatamu
dengan
keheningan kenangan.
Aku tak
lagi mampu mengingat
kapan
kisah cinta itu dimulai, kapan selesai.
Barangkali
pada sebuah senja di bising kota asing dan kumuh,
pada
beranda sebuah hotel di ujung jalan riuh.
Atau
dalam kafe tanpa nama, tanpa daftar menu.
Kota-kota
berangkat tua dalam batinku.
Namun
senyummu abadi seperti sebaris sajak Po Chu-i.
Senja
yang kusimpan dalam ingatan kini lapuk dan berlumut.
Suatu kali aku akan kembali ke Yogya,
memulai cerita baru lagi. Entah dengan siapa. Meski kenangan akan selalu sama.
Ah, Flo…
Jakarta,
Juli 2014
Komentar
Posting Komentar