Gambar diunduh di sini
(Sebuah Catatan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck)
Oleh : Syahrizal Sidik
|
HIDUP tidak selamanya linier. Begitulah kita menyimpulkan sebuah
aforisma yang tidak lagi asing dalam ingatan. Terkadang kita akan tertawa di
saat perih yang menyanyat hati, atau akan tersenyum saat kita saat terpuruk dalam
kesendirian yang paling sunyi. Mungkin kita sering mengalami itu. Sebuah ruang hampa
yang karib, kadangkala samar-samar, di saat separuh jiwamu sadar bahwa semua yang terjadi
adalah pertentangan demi pertentangan.
Barangkali
Pram benar, bahwa scripta manent verba volant
itu nyata. Segala diorama antara
kita hanya akan luruh dalam hitungan detik, bahkan nafas. Mereka yang hanya
ingin dekat saat butuh dan mungkin hanya formalitas saja. Tapi kata tidak
pernah jatuh dua kali. Sekali ia terucap maka tajam ia menancap. Belakangan ini
aku menonton Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck sebuah film karya HAMKA. Seorang pujangga yang terkenal pada masanya.
Saya ingin berbagi kisah dengan ini, yang menurut saya adalah refleksi, sebuah
perjalanan melawan badai dalam gelap. Kisah ini bermula mengangkat kisah
berlatar adat di Sumatera Barat, ada seorang lelaki miskin bernama Zainuddin,
pemuda yang jatuh hati kepada Hayati. Ada salah satu adegan yang membuat saya
terharu dalam film yang berdurasi 2 jam 35 menit itu. Beginilah kata-katanya:
……………………………………………………………………………
Buat apa
kita hidup berlimpahkan emas, bermandikan uang
Tapi, hati
dan jiwa kita merana dan sengsara
Hati yang
tersakiti oleh masa lalunya sendiri.
Tidak ada
jalan untuk kembali. Karena semuanya telah tersakiti.
…………………………………………………………………………….
Zainuddin, si pemuda miskin itu adalah penulis hikayat.
Cerita dan tulisannya sempat menghisasi suratkabar di Bukittinggi. Jatuh
hatinya pada Hayati adalah janjinya sehidup semati. Ya, janji yang diingatnya
melekat kuat di denyut nadinya. Sampai suatu hari ia rela harus kehilangan
belahan jiwanya. Uda Aziz, pria tampan dan bangsawan, telah memikat tradisi
adat Minang yang kental, bahwa segala sesuatunya harus jelas bebet, bibit, bobot. Jelaslah, Zainuddin
tidak termasuk kriteria keluarga dan tradisi keluarga Hayati. Ia terlemparkan
keadaan yang menyayat hatinya. Kemiskinan tak mampu menemukan hatinya dengan
gadis dambaan.
……………………………………………………………………….
Zainuddin,
kamu tahu
Semuanya
adalah kehendak dan demi kebaikan keluarga
Aku memilih
ini sebagai keputusanku
Sebab aku
tak bisa hidup dengan kesengsaraan sepertimu
Lupakan,
aku, dan segala janjiku kepadamu
Hapus aku
dari ingatanmu…
Hayati
………………………….........................................................
SIAPA yang tidak
tersayat hati. Seorang yang berjanji sehidup semati meninggalkan kita untuk
pergi selamanya. Dengan orang yang mungkin tidak dicintainya. Ia memilih
kemapanan, kekayaan, keturunan bangsawan sebagai ukuran kebahagiaan. Zainuddin,
si lelaki miskin perantauan itu tersayat hatinya, luka dalam yang mengoyak
nuraninya terdalam. Ia harus melupakan Hayati. Ya…. Melupakannya, walau perih.
…………………………………………………………………
Malam yang
penuh tanda tanya
Ia pelan-pelan bangkit. Hatinya sakit
Dalam
malam-malam yang buram, langit temaram
Ia menulis
roman dan cerita
mengirimkannya
pada suratkabar di Batavia.
Walau badai
dalam gelap menerjangnya
Ditantangnya
sepenuh cahaya
Ia mulai
menemukan hidupnya
…………………………………………………………………
KESOHORAN Zainuddin
sebagai pengarang suratkabar terngiang juga sampai telinga Uda Aziz dan Hayati.
Zainuddin tak lagi si lelaki miskin yang tak punya apa-apa. Ia menjadi
pengarang ternama di Batavia. Kerabat dan perkenalannya semakin luas. Tiras
bukunya tersebar di penjuru kota. Perantauannya tak sia-sia. Di tengah hal itu,
kemalangan justru datang dari Uda Aziz dan Hayati. Bukannya sebuah kebahagiaan
yang ada dalam rumah tangga mereka, tapi kesedihan dan luka batin yang terus
menyayat Hayati. Diketahuilah, Uda Aziz adalah seorang pejudi, sering main
perempuan, pulang dalam keadaan mabuk berat. Hayati, kadang-kadang tertidur
saat suaminya pulang, dan membuat cek cok rumah tangganya. Ia tidak bahagia…
…………………………………………...
Kebahagiaan
adalah bumi dan langit
Batasnya
adalah rahasia semesta
Bagi kita
yang menyadarinya
……………………………………………..
MALAM itu,
langit penuh warna-warni serasi. Zainuddin sedang meluncurkan pertunjukan opera
yang disutradarainya. Reportoar yang mencoba mengangkat kisahnya sendiri,
meskipun dengan nama samaran dan pemeran orang lain. Sebuah drama masa lalu
yang mempertemukannya dengan Hayati dulu. Kebetulan, di saat yang sama Hayati
datang pada pertunjukkan itu. Hatinya meleleh, ia tak kuasa menahan bulir
airmatanya menetes di pipinya saat adegan pertemuannya dengan si lelaki miskin.
Di sebuah tepi pantai, saat senja yang tenang, perempuan itu memberikan sebuah
selendang sebagai tanda janjinya sehidup semati, bahwa mereka akan berdua akan
dipertemukan dan hidup bahagia…
……………………………………………………..
Langit
bagai tujuh warna
Dan rasi
bintang merajutnya menjadi bianglala
Tapi hatimu
kosong dan merana
Tak ada di
sana
……………………………………………………..
KERETAKAN rumah
tangga Uda Aziz pelan-pelan mulai muncul ke permukaan. Uda Aziz jatuh miskin
terlilit hutang judinya. Rumah dan segala barang berharga miliknya habis sudah.
Sekarang ia jatuh miskin dan tak punya apa-apa. Segala kebanggannya runtuh tak
tersisa. Tak ada lagi yang bisa
dilakukan, selain meminta bantuan Zainuddin. Kedermawanan dan kebaikan hati
Zainuddin meluluhkan segala benci dan dendam masa lalu. Ia menerima Uda Aziz
dan Hayati di istana miliknya. Ia tinggal bersama di rumah besar, berlantai
pualam dan berlangitkan pilar-pilar.
……………………………………………..
Siapa hati
mau menerima kembali
Sahabat dan
rasa sakit yang memintaku
Datang
kembali di sini
Di tempat
ini.
Adakah
dirimu datang untukku
Atau menghabisi
rasa sakit
Juga segala perihku
……………………………..………………
KESEHATAN Uda Aziz
semakin memburuk. Hari-harinya sebagai suami tinggal di rumah Zainuddin
menampar mukanya. Dulu, ia yang begitu kejam dan mencela si lelaki miskin
perantauan. Kini, ia berbaring lemah.
…….………………………………………………………………………………………..
“Zainuddin,
tentu sebagai lelaki saya tidak bisa berlama-lama di tempatmu, aku harus pergi
dan mencari pekerjaan.”
“Tapi,
bukankah sebaiknya Uda tinggal di sini dahulu sebelum sembuh benar, baru Uda
pergi mencari pekerjaan.”
“Tak enak
hati, aku terlalu banyak berhutang budi padamu. Aku tidak pernah memberi
sepeser pun. Terlalu banyak pengorbanan yang kau berikan padaku. Aku akan pergi
mencari kerja ke Surabaya, saat ini aku titipkan Hayati bersamamu. Sampai batas
waktu tertentu dan aku sudah mendapat pekerjaan aku akan mengabarimu.”
“Sebagai
sahabat, kita saling membantu dan memberi selagi bisa dan membantu selagi ada.
Baiklah kalau itu yang Uda Aziz minta. Esok saya siapkan tiket dan kebutuhanmu
menuju Surabaya.”
………………………………………………………………………………………………………….
HARI-hari
berlalu. Belum ada kabar juga selepas kepergiannya ke Surabaya. Sampai tiba
surat yang datang di kediaman Zainuddin.
……………………………………………………………………………………..
Zainuddin,
Engkau
lelaki baik benar, tibalah saat ini aku mengembalikan Hayati kepadamu
Terhitung
sejak hari ini. Kaulah, orang yang pantas ada di sampingnya.
Maafkan,
jika aku banyak mengecewakanmu.
Aku harus
pergi lebih dahulu…
Aziz
…………………………………………………………………………………………………
KEPERGIAN Aziz
meninggalkan duka yang dalam bagi keluarga dan tentunya Hayati. Ia kini
sendiri, suaminya telah tiada. Setelah diketahui ia tewas karena overdosis.
“Inilah saatnya, Zainuddin. Aku ingin meminta maaf kepadamu
tentang masa lalu kita”
“Ma… aaaf katamu?
Maaf bagi seorang yang telah mengingkari janjinya sehidup semati. Tak tahukah
aku begitu merana dan aku tak bisa bangkit dari kesedihanku untuk waktu yang
lama, tiba-tiba kau dengan mudahnya meminta maaf. Sementara kau….. telah
berkhianat dengan janjimu sendiri. Di mana hati dan perasaanmu?”
“Kau begitu kejam Zainuddin, aku memintamu baik-baik
kepadamu karena…”
“Siapa yang lebih kejam di antara kita Hayati? Bukankah
meminta untuk melupakan semua antara kita adalah kau pertama? Dan bukankah kau
yang memilih untuk…”
“Cu….kup Zainuddin… aku sudah sangat sakit saat ini. Hatiku
sudah tersayat, dan sekarang orang yang kucintai sudah pergi. Biarlah, aku
menjadi pembantu yang paling nista sekalipun, tapi aku tidak ingin
meninggalkanmu, aku ingin mencoba kembali merajut hidup bersamamu.. jangan
tinggalkan aku.”
“Tidak Hayati… kau pernah merasakan hidup di atas
kebahagiaan tapi hatimu merana dan smenderita, hidup bermandikan uang dan
berlimpahkan emas tapi perasaanmu tak menentu dan kosong, itulah aku dulu,
Hayati, Aku sangat terpuruk.. Besok ada kapal yang pergi ke Surabaya. Van Der
Wijck namanya. Aku memutuskanmu untuk kau kembali ke tanah adatmu, Minang.
Tanah yang menjunjung tinggi nilai dan kebanggaan leluhurmu. Segala kebutuhan
perjalananmu akan kupenuhi. Kau harus kembali ke Minangkabau….”
………………………………………………………
Seorang
yang kucinta dan kudamba
Ego telah
meluluhkan segala rasa
Aku akan
pergi, selamanya
Dalam baris
kata yang pernah ada
Bukan benar
kematian menjadi jurang pemisah ini
Meski kau dan
aku tak ditakdirkan satu.
Jiwaku
tanpamu adalah sunyi
Lagu
keabadian sepanjang hayatku
………………………………………………………
Jakarta, 17 Januari 2014
Komentar
Posting Komentar