Langsung ke konten utama

Gie: Kenangan, Keberanian dan Romantisisme yang Tak Kunjung Selesai

Image taken from here


Mengenang Gie dalam Puisi

"Tomorrow is another day, the day of struggle for a better life."
 —Soe Hok Gie


Pernahkah kita terdiam sejenak pada setiap keterasingan?

Merasakan di tengah tengah kita, tentang keadaan yang tak pernah kita inginkan. Sesuatu yang menjauh dari harapan dan bayangan kita. Tentang segala sesuatu yang melesat dan tiba-tiba jatuh, seseorang yang membuat kita bercermin tentang hitam putih masa lalu.

Lalu, adakah yang lebih diam dari keheningan?

Meresapi setiap relung kesunyian, pada kesetiaan dingin batu, pada alam yang berkisah tentang keluh kesah, pada alam yang bercerita.
: tentang keindahan

Kata-kata yang mengalir bersahaja, menyatu, bersama gelisah orang-orang berwajah resah, tentang nasib mereka yang tertindas dan dilumpuhkan kekuasaan, tentang keindahan cinta yang pelan-pelan, dilukiskannya dalam kanvas kesederhanaan. Ada gejolak yang menentangnya, untuk berani tanpa rasa takut, melawan ketidak adilan di sekitarnya, menyuarakan getir, hingga akhir titik nadir.

Dia yang bercerita, tentang anjing-anjing yang lucu, dan nakal. Tentang kekasih yang tak sempat dicintainya, karena maut telanjur memanggilnya. Kabar mengejutkan, datang dari Semeru itu, mengantarmu, selama-lamanya. Sosok yang selamanya, bersemayam, di kesetiaan paling dalam. Ia yang hanya ingin, mungkin, mengatakan, pada kita, di tengah tengah kita;  

Saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik.

Dia yang tumbuh besar, dari keluarga penulis. Ayahnya, novelis kenamaan waktu itu, Soe Lie Pit, menumbuhkan minat bacanya yang luhur pada literatur. Di ambang remaja, Gie bergumul pada realitas yang dilihatnya secara nyata;

…Ada golongan yang tercampak dari kebenaran
Dan berdiri atas nilai kepalsuan
Aku kira, tiada bahagia di sana
Sebab tiada kasih, kebenaran dan keindahan
dalam kepalsuan…
 

Lahirnya Seorang Aktivis

Minggu, 17 Desember 1961. Dia menulis, tentang isi hatinya pada catatan harian kesayangannya;

Pada suatu saat di mana kita berhenti
Menandang ke belakang
Dan memberi salam
(mesra tapi sayu)
Masa lampau adalah seperti mimpi.
Terlupa dan berat menarik ke belakang.
Terkadang kecewa.
Yang hilang, semua hilang
Seperti Usus yang lenyap kemalasan
Dan kecewa seperti Asvius yang patah hati…

Dia yang menulis, dan menyuarakan kebenaran itu pernah terdiam, lalu berkisah tentang filsafat hidup;

Terasa pendeknya hidup memandang sejarah
Tapi terasa panjangnya karena derita
Maut; tempat perhentian terakhir.
Nikmat datangnya dan selalu diberi salam

Menjelang keberangkatan ke negeri Paman Sam, dia pernah menulis tentang Jakarta. Kota kelahiran yang telah membesarkannya selama ini.

Saya kira saya ada di Jakarta kembali,
Datang dan bicara dengan manusia-manusia yang saya cintai
Tentang dunia yang semakin tua – atau tanah air yang kelabu
Atau tentang mimpi-mimpi kita (yang tak pernah akan datang)
Aku ingin kembali mata-mata mengantuk di rumah Uno
Jam duabelas malam, dan masih bicara
Tentang pertempuran-pertempuran yang tak bisa kita menangkan
(Aku sendiri tak tahu – mengapa aku ikut serta)
Saya kira terbangun oleh kicau burung-burung gereja
Di pohon kelapa dan mangga dekat tempat tidurku
Atau terbangun karena nyamuk dalam kelambu.
Jakarta—
Aku yakin aku cinta padamu….

Perjalanan panjang nan terjal. Liku hidup yang penuh tanda tanya, terkadang keras, penuh tantangan. Dan dia menulis ceritanya itu, pada kesendirian;


Sebuah Tanya

akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku

(kabut tipis pun turun pelan-pelan
di lembah kasih, lembah mandalawangi
kau dan aku tegak berdiri
melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika kudekap kau
dekaplah lebih mesra, lebih dekat

(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku berbicara
tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta

(hari pun menjadi malam
kulihat semuanya menjadi muram
wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang kita tidak mengerti
seperti kabut pagi itu

manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru

1 April 1969

Kesetiannya, pada mendaki gunung, bermeditasi bersama alam, berkawan dengan kesunyian, dingin, juga kebisuan semesta, saksi cinta yang tak lekang oleh masa, yang kelak— ke haribaannya ia kembali, selamanya;
Image taken from here

Mandalawangi—Pangrango

Senja ini, ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

Walaupun setiap oranng berbicara
Tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku

Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala, cintamu dan cintaku
adalah kebisuan semesta

Malam itu ketika dingin dan kebisuan
menyelimuti Mandalawangi kau datang kembali
dan bicara padaku tentang kehampaan semua

“Hidup adalah soal keberanian menghadapi tanda tanya
tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
terimalah dan hadapilah”

Dan antara ransel-ransel kosong
dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas-batas hutanmu
melampaui batas-batas jurangmu

Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

Jakarta, 19  Juli 1969


Sebelum kepergiannya, untuk selama-lamanya. Dia pernah menulis satu puisi romantis, untuk seseorang yang dicintainya. Seorang yang didambanya sepenuh hati, sepenuh janjinya pada hidup, cinta, juga kesetiaan. Walau akhirnya, maut memisahkan mereka;

Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah.
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza.

Tapi aku ingin bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu.
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi.

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati karena bom di Danang.
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra.

Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku.
Setelah kita bosan dan bertanya-tanya.
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.

Mari sini sayangku.
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati
padaku.
Tegaklah ke langit luas atau awan mendung.
Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak’kan pernah
Kehilangan apa-apa.

11 November 1969

Kini, sang petualang itu telah tiada. Kata-katamu, yang bersahaja kini ada di masing-masing kami; yang mengenangmu.
Selamat jalan, Gie, untuk selamanya. Kami mengenangmu, seperti puisi yang abadi.

Makhluk kecil, kembalilah.
Dari tiada ke tiada.
Dan berbahagialah dalam ketiadaanmu.


Catatan Sang Pengagum.
Syahrizal Sidik


Sumber Referensi:
Gie, Soe Hok.1992. Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3S

Sila, kunjungi:




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan Menulis Puisi Prosais : Ulasan Puisi Syahrizal Sidik

oleh : Jamal D. Rahman* Jejak Cahaya Malam Nuzulul Qur’an               kepada : malam Nuzulul Qur’an /i/ di riak jingga airmata jiwamu, berurai namamu memanjang seperti gemericik hujan yang jatuh kedalam rongga tabah tubuhku yang rubuh. lalu, menghampiri  jemari. memantik di dingin sunyi yang memapah deru paru. /iii/ adalah cahaya sunyi di dingin itu, ketika  kakilangit menjejak langkah di dekap sujudku yang rapat. memahat lekat ayat-ayat suci, terpatri erat mengakar. lindap didegup jantung, darahku kaku. kelu. /iii/ sudah kutahu cerita tentangMu. malam begitu beku, meniris  gerimis. jatuh diatap-atap bumi yang meratap. senyap. /iv/ jauh sebelum itu, bumi seperti rerengkuh angkuh, senjakala tiada. lembayung terpasung dikais dera tiada tara. angin mati, mendesahkan resah di malam itu. /v/ dikedamaian suatu ketika, malaikat turun kebumi, memapar kabar. lauh mahfudz menyala ...

Jurus GOTO Memoles Laporan Keuangan

                                                                                                               Katadata I Andrey Rahman  Usai melepas bisnis e-commerce Tokopedia ke TikTok, GOTO terus melakukan upaya pemangkasan beban usaha untuk mencapai profitabilitas lebih cepat, termasuk pelepasan unit bisnis GoTo Logistics.   GOTO mencatatkan penurunan kerugian bersih signifikan pada kuartal peryama dan kenaikan pendapatan sejalan dengan strategi pertumbuhan pada ekspansi pengguna, pengurangan beban operasional, dan penguatan kemitraan dengan TikTok dan Bank Jago.  Manajemen GOTO akan melakukan perombakan jajaran pengurus pada RUPST/RUPLSB Juni. Analis pasar modal memperkirakan prospek sa...

Mengenal Komunitas Airbrush Indonesia (KAI)

FOTO-FOTO: DOK.SYAHRIZAL SIDIK Anggota Komunitas Airbrush Indonesia (KAI) sedang “beraksi” mengekplorasi cat pada tangki bahan bakar sepeda motor agar menjadi nampak artisitik dan unik pada Minggu, (10/11) di Pelataran Parkir Timur Senayan,  Jakarta Pusat, dalam rangkaian acara Indonesia Motorcycle Fest 2013.         Saling Berbagi Melalui Seni “Kami semua seperti keluarga di sini,” begitulah ujar Pay (37), ketua Komunitas Airbrush Indonesia (KAI), sebuah organisasi yang didirikan atas keinginan dan inisiatif bersama, sekumpulan orang   yang memiliki minat yang sama, yakni; airbrush. Sebuah seni yang terbilang “baru” di Indonesia. Seperti apa ceritanya?      Di tengah cuaca terik ibukota, area parkir Timur Senayan, Gelora Bung Karno Jakarta dipadati ribuan pengunjung dari berbagai daerah di Indonesia. Pagelaran Indonesia Motorcycle Fest 2013, yang diselenggarakan pada Sabtu-Minggu, (9-10/11) itu berhasil menarik animo m...